Suara Golkar edisi November 2013 | Page 18

MEDIA CENTER BKPP PARTAI GOLKAR terdapat kesenjangan yang sangat besar,” ujarnya saat membuka Focus Group Discussion (FGD) bertema “Reaktualisasi Pancasila Di Tengah Krisis Karakter Kabangsaan” di kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sebagai contoh, kata mantan Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah itu, salah satu tujuan bernegara adalah melindungi segenap bangsa dan tumpah daerah Indonesia. Tapi kenyataannya, apakah ada perlindungan terhadap para Tenaga Kerja Indonesia (TKI)? Menurut dia, jangankan memberikan perlindungan yang konkrit, yang simbolis saja tidak. Meski begitu, bagi Ketua Dewan Penasehat Lembaga Karatedo Indonesia/LEMKARI (2010-2015) itu, meski saat ini kesannya ‘jauh panggang dari api” namun reaktualisasi nilai-nilai Empat Pilar itu tetap menjadi kebutuhan untuk menjawab berbagai persoalan bangsa. Ketua Badan Pengurus LAZIS Muhammadiyah (20102015) itu mengatakan, keberhasilan pemasyarakatan nilai-nilai itu, hanya bisa berhasil bila dilakukan dalam dua tataran. Yakni, pada tataran perangkat regulasi sesuai dengan Pancasila. Misalnya, dengan memberikan jaminan terhadap demokrasi, keadilan sosial, dan lain sebagainya. Sedangkan tataran berikutnya adalah tahapan pelaksanaan di lapangan. Nah, bagian ini yang dianggapnya paling sulit. Jangankan di masyarakat biasa, kata dia, bahkan di kalangan akademisi pun, pemasyarakatan nilai-nilai Empat Pilar itu masih kurang. Karena itu, MPR melibatkan banyak perguruan tinggi untuk sosialisasinya. Menurut dia, dalam konteks yang dinamis, dimana pemahaman terhadap aktualisasi Pancasila terus berubah, maka perguruan tinggi harus mengambil peran untuk merumuskan bagaimana mengaktualisasikan Pancasila itu. “Sebagai contoh. Aktualisasi Pancasila itu dalam aspek kebebasan beragama sangat compang-camping,” ujar dia. Para penyelenggara negara, juga menjadi sasaran sosialisasi Empat Pilar ini. Menurut Hajriyanto, para penyelenggara negara memiliki peran strategis terkait karena kebijakan publik. Karena itu, mereka wajib memahami dan sadar benar arti nilai Pancasila untuk menghindari korupsi dan kebijakan-kebijakan yang intoleran. Nilai-nilai Empat Pilar kebangsaan itu harus bisa dihayati dan diimplementasikan dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan rakyat banyak. “Bagi para penyelenggara negara, seperti Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota dan anggota DPR, pemahaman Empat Pilar ini adalah keharusan dan tidak bisa ditawar lagi,” kata dia. Terkait protes sejumlah pihak atas istilah Empat Pilar itu, Hajriyanto bisa memakluminya. Bagi dia, tidak masalah bila hal itu diubah. Karena itu cuma sekedar nama agar lebih mudah diingat karena menarik (eye catching). Yang lebih penting, kata dia, adalah substansinya. Edisi No.1 November 2013 MEDIA CENTER BKPP PARTAI GOLKAR Khusus terkait kehidupan antar umat beragama, Hajriyanto memiliki sikap yang tegas. Sesuai dengan nilai-nilai dalam Empat Pilar itu, dia meminta agar setiap penyelenggara negara bersikap arif dan bijaksana. Tahu membedakan antara yang urgent untuk diurus, mana yang tidak. Bagi Hajriyanto, Indonesia adalah negara Pancasila. Bukan negara teokrasi atau negara agama. Karena itu, negara harus mengambil jarak yang tepat dalam relasinya terhadap agama. Menurut dia, kebhinekaan dalam bentuk keberanekaragaman agama dan kemajukan dalam internal agama, bagaimanapun harus dihormati oleh negara. Interaksi Dengan Rakyat Tidak lama lagi, tinggal lima bulan, pesta demokrasi dalam bentuk Pemilu legislatif akan digelar. Hajriyanto pun tak lupa mengingatkan semua pihak untuk membawa diri secara tepat dalam momen yang menentukan perjalanan masa depan bangsa tersebut. Hal itu sangat penting, kata dia, karena saat ini terjadi sebuah fenomena apatisme terhadap politik di tengah masyarakat. Hal itu diperparah dengan memanasnya situasi mengingat tahun 2013 ini merupakan tahun politik, tahun persiapan memasuki pertarungan pada Pemilu 2014. Menurut Ketua Badan Pengurus GOZIS DPP Partai Golkar (2010-2015) itu, politik dinasti dan berbagai kasus korupsi yang melibatkan pejabat negara dan para politisi membuat citra politik terpuruk. Juga citra institusi-institusi politik ikut tercoreng. Dia bahkan mengingatkan, bukan cuma apatisme yang sedang berkembang. Tapi kini bergerak ke arah sinisme. “Sinisme itu ditandai dengan makin meningkatknya ketidakhadiran di Tempat Pemungutan Suara (TPS) saat Pilkada,” kata dia. Dia mengatakan, hal itu terjadi karena para tokoh politik ataupun para tokoh masyarakat masih menganut sistem feodalisme, termasuk di dalam partai. Mengantisipasi hal itu, para Parpol yang berlaga pada Pemilu 2014 berkewajiban untuk memberikan pendidikan po ]Z