MEDIA CENTER BKPP PARTAI GOLKAR
terdapat kesenjangan yang sangat besar,” ujarnya saat
membuka Focus Group Discussion (FGD) bertema
“Reaktualisasi Pancasila Di Tengah Krisis Karakter
Kabangsaan” di kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Sebagai contoh, kata mantan Ketua Umum PP
Pemuda Muhammadiyah itu, salah satu tujuan bernegara
adalah melindungi segenap bangsa dan tumpah daerah
Indonesia. Tapi kenyataannya, apakah ada perlindungan
terhadap para Tenaga Kerja Indonesia (TKI)? Menurut
dia, jangankan memberikan perlindungan yang konkrit,
yang simbolis saja tidak.
Meski begitu, bagi Ketua Dewan Penasehat Lembaga
Karatedo Indonesia/LEMKARI (2010-2015) itu, meski saat
ini kesannya ‘jauh panggang dari api” namun reaktualisasi
nilai-nilai Empat Pilar itu tetap menjadi kebutuhan untuk
menjawab berbagai persoalan bangsa.
Ketua Badan Pengurus LAZIS Muhammadiyah (20102015) itu mengatakan, keberhasilan pemasyarakatan
nilai-nilai itu, hanya bisa berhasil bila dilakukan dalam
dua tataran. Yakni, pada tataran perangkat regulasi
sesuai dengan Pancasila. Misalnya, dengan memberikan
jaminan terhadap demokrasi, keadilan sosial, dan lain
sebagainya. Sedangkan tataran berikutnya adalah
tahapan pelaksanaan di lapangan. Nah, bagian ini yang
dianggapnya paling sulit.
Jangankan di masyarakat biasa, kata dia, bahkan di
kalangan akademisi pun, pemasyarakatan nilai-nilai
Empat Pilar itu masih kurang. Karena itu, MPR melibatkan
banyak perguruan tinggi untuk sosialisasinya.
Menurut dia, dalam konteks yang dinamis, dimana
pemahaman terhadap aktualisasi Pancasila terus
berubah, maka perguruan tinggi harus mengambil peran
untuk merumuskan bagaimana mengaktualisasikan
Pancasila itu.
“Sebagai contoh. Aktualisasi Pancasila itu dalam
aspek kebebasan beragama sangat compang-camping,”
ujar dia.
Para penyelenggara negara, juga menjadi sasaran
sosialisasi Empat Pilar ini. Menurut Hajriyanto, para
penyelenggara negara memiliki peran strategis terkait
karena kebijakan publik.
Karena itu, mereka wajib memahami dan sadar
benar arti nilai Pancasila untuk menghindari korupsi
dan kebijakan-kebijakan yang intoleran. Nilai-nilai
Empat Pilar kebangsaan itu harus bisa dihayati dan
diimplementasikan dalam pengambilan keputusan yang
berhubungan dengan rakyat banyak.
“Bagi para penyelenggara negara, seperti Presiden,
Gubernur, Bupati, Walikota dan anggota DPR,
pemahaman Empat Pilar ini adalah keharusan dan tidak
bisa ditawar lagi,” kata dia.
Terkait protes sejumlah pihak atas istilah Empat Pilar itu,
Hajriyanto bisa memakluminya. Bagi dia, tidak masalah
bila hal itu diubah. Karena itu cuma sekedar nama agar
lebih mudah diingat karena menarik (eye catching). Yang
lebih penting, kata dia, adalah substansinya.
Edisi No.1 November 2013
MEDIA CENTER BKPP PARTAI GOLKAR
Khusus terkait kehidupan antar umat beragama,
Hajriyanto memiliki sikap yang tegas. Sesuai dengan
nilai-nilai dalam Empat Pilar itu, dia meminta agar setiap
penyelenggara negara bersikap arif dan bijaksana. Tahu
membedakan antara yang urgent untuk diurus, mana
yang tidak.
Bagi Hajriyanto, Indonesia adalah negara Pancasila.
Bukan negara teokrasi atau negara agama. Karena
itu, negara harus mengambil jarak yang tepat dalam
relasinya terhadap agama.
Menurut
dia,
kebhinekaan
dalam
bentuk
keberanekaragaman agama dan kemajukan dalam
internal agama, bagaimanapun harus dihormati oleh
negara.
Interaksi Dengan Rakyat
Tidak lama lagi, tinggal lima bulan, pesta demokrasi
dalam bentuk Pemilu legislatif akan digelar. Hajriyanto
pun tak lupa mengingatkan semua pihak untuk membawa
diri secara tepat dalam momen yang menentukan
perjalanan masa depan bangsa tersebut.
Hal itu sangat penting, kata dia, karena saat ini terjadi
sebuah fenomena apatisme terhadap politik di tengah
masyarakat. Hal itu diperparah dengan memanasnya
situasi mengingat tahun 2013 ini merupakan tahun
politik, tahun persiapan memasuki pertarungan pada
Pemilu 2014.
Menurut Ketua Badan Pengurus GOZIS DPP Partai
Golkar (2010-2015) itu, politik dinasti dan berbagai
kasus korupsi yang melibatkan pejabat negara dan
para politisi membuat citra politik terpuruk. Juga citra
institusi-institusi politik ikut tercoreng.
Dia bahkan mengingatkan, bukan cuma apatisme
yang sedang berkembang. Tapi kini bergerak ke arah
sinisme.
“Sinisme itu ditandai dengan makin meningkatknya
ketidakhadiran di Tempat Pemungutan Suara (TPS) saat
Pilkada,” kata dia.
Dia mengatakan, hal itu terjadi karena para tokoh
politik ataupun para tokoh masyarakat masih menganut
sistem feodalisme, termasuk di dalam partai.
Mengantisipasi hal itu, para Parpol yang berlaga
pada Pemilu 2014 berkewajiban untuk memberikan
pendidikan po ]Z