pelaksanaan pemilu berjalan dengan
baik, sesuai aturan, dengan tingkat
pemahaman yang baik di kalangan
penyelenggara, saksi dan pemilih,
Partai Golkar optimis bisa mencegah
kecurangan-kecurangan yang terjadi.
Dalam dua kali pemilu, Partai Golkar
bukanlah partai yang punya afiliasi
politik dengan Presiden (Megawati
pada 2004 dan SBY pada 2009).
Untuk ketiga kalinya, Partai Golkar
bukanlah partai yang satu bendera
dengan Presiden pada 2014.
Artinya, inilah untuk ketiga
kalinya Partai Golkar mengikuti pemilu
dengan posisi Presiden RI bukan
dari Partai Golkar. Akan tetapi, Partai
Golkar juga bukan partai oposisi
yang berada di luar pemerintahan.
Partai Golkar selalu mengambil peran
aktif di pemerintahan, mengingat
silabus pelatihan berisi tentang
karya dan kekaryaan. Silabus ini
selalu membawa pikiran kaderkader Partai Golkar untuk masuk dan
mewarnai pemerintahan. Kesadaran
berpemerintahan ini muncul sebagai
bagian dari program yang mewarnai
Partai Golkar sejak awal.
Pemilu adalah proses yang
panjang, bagaikan lari maraton. Waktu
empat bulan barangkali terlalu pendek
bagi sebagian orang, namun bisa
juga terlalu panjang bagi sebagian
yang lain. Dalam ukuran saya sendiri,
empat bulan adalah waktu yang pas.
Kalau kampanye dibagi menjadi tiga
tahapan, yakni dikenal, disukai dan
dipilih, maka tersedia satu bulan waktu
untuk dikenal, satu bulan untuk disukai,
satu bulan untuk dipilih dan satu bulan
untuk pemeliharaan suara pemilih
46
sampai hari H. Apalagi, tidak mudah
untuk mendapatkan pemilih (baru)
dewasa ini. Bagi Partai Golkar, afiliasi
kepartaian tetap penting mengingat
lamanya usia partai ini.
Bagi Partai Golkar, pelajaran
politik sudah banyak diambil selama
lima belas tahun terakhir. Sejumlah
tokoh sudah mendirikan partai politik
baru, walau sebelumnya bernaung di
bawah beringin. Yang bertahan juga
ada, sekaligus kader-kader baru yang
kini menapaki usia emasnya masingmasing. Perimbangan para senior dan
yunior begitu terasa. Walau kalangan
senior masih menduduki posisi-posisi
penting di partai, upaya mempercayai
kalangan yunior juga sudah dimulai.
Partai Golkar memang tidak memberi
tempat kepada kemunculan sosok
yang tiba-tiba. Seseorang ditempa
dengan kerja berat. Bahkan, terpilih
sebagai legislator saja belum cukup
untuk meraih kepercayaan dari partai.
Selama 15 tahun, Partai
Golkar sama sekali tidak menempatkan
kadernya di pucuk tertinggi puncak
karier politik, yakni Presiden Republik
Indonesia. Absen gelar kepresidenan
yang termasuk lama, untuk ukuran
partai politik yang selalu berada di
urutan pertama atau kedua. Tentu
jabatan presiden bukanlah segalagalanya, mengingat fungsi masingmasing orang sudah ada. Dan hanya
satu orang yang menjadi Presiden
RI. Bagi Partai Golkar, kemenangan
dalam pemilu 9 April 2014 menjadi titik
penting untuk kehadiran lebih banyak
ide dan gagasan dalam panggung
politik, ketimbang isu-isu harian
yang tidak banyak gunanya untuk
masyarakat luas.
Tinggal sekarang seluruh
tenaga, pikiran, dana dan waktu
diberikan bagi kemenangan Partai
Golkar, baik untuk posisi legislatif,
maupun eksekutif. Kado HUT Emas ke50 Partai Golkar yang jatuh bertepatan
dengan hari pelantikan Presiden RI
periode 2014-2019, yakni tanggal 20
Oktober 2014, tentulah kemenangan.
Kemenangan itu artinya,
bertepatan dengan ulang tahun emas
Partai Golkar, Presiden Republik
Indonesia yang dilantik adalah kader
utama Partai Golkar yang sudah
ditetapkan sebagai calon presiden
sejak Oktober 2012 lalu. Rapimnas
ke-5 Partai Golkar, 21-23 November
2013, juga sudah dipersiapkan menuju
ke sana.
Artinya, puncak harapan
Partai Golkar adalah memenangkan
pemilu 9 April 2014 dan sekaligus
pemilu presiden dan wakil presiden
9 Juli 2014. Lalu, ketika benderabendera keemasan muncul menjelang
HUT ke-50 Partai Golkar, 20 Oktober
2014, Presiden terpilih berasal dari
Partai Golkar. Itulah untuk pertama
kalinya dalam sejarah, peringatan
HUT Partai Golkar dilakukan dari
dalam Gedung MPR RI, sekaligus
juga di Istana Negara. Dengan cara
itulah Partai Golkar memiliki peran
jangka menengah dan panjang
guna mewujudkan Visi Negara
Kesejahteraan 2045.
Bernyalikah kita?