HARAPAN BARU DI TAHUN PEMILU
T
ahun depan, tepatnya 20
Oktober 2014, Partai Golkar
berusia 50 tahun. Usia itu
tentu diukur bukan sejak
Golkar menjadi partai politik pada
1998. Sama dengan usia sebuah
kota, biasanya tidak diukur sejak
kota itu berdiri secara administratif,
melainkan sejak sentuhan pertamanya
dicatat. Begitu pula Partai Golkar, usia
kelahirannya dihubungkan dengan
pembentukan Sekretariat Bersama
Golongan Karya (Sekber Golkar) pada
20 Oktober 1964.
Dalam tiga kali pemilu sejak
menjadi partai politik, Partai Golkar
berada di urutan kedua (1999), pertama
(2004) dan kedua (2009). Capaian
pemilih Partai Golkar juga berubah.
Pada 1999, Partai Golkar memperoleh
suara sebanyak 23.741.758. Lalu,
pada 2004 Partai Golkar mendapatkan
24.480.757 suara. Terakhir, pada 2009,
Partai Golkar kehilangan lebih dari
9 Juta pemilih, dengan
hanya meraih angka
15.037.757 pemilih.
Memang, Partai
Golkar selalu berada
di urutan pertama atau
kedua. Namun dari sisi
jumlah pemilih, kehilangan
9 juta lebih pemilih dalam
lima tahun itu sungguhlah
mengejutkan, dan tak
pernah
terbayangkan
sebelumnya.
Juga,
sampai kini, faktor
kekalahan (telak) dalam
Pemilu 2009 itu tidak
pernah dievaluasi secara
menyeluruh. Partai Golkar memang
lebih sibuk dengan masalah kaderisasi
dan organisasi, serta membangun all
united campaign sebagai jalan keluar
menuju kemenangan dalam Pemilu 9
April 2014.
Menurut
hasil
survei
Lembaga Survei Indonesia, Partai
Golkar
mengalami
kenaikan
elektabilitas dibandingkan dengan
pertama kali dipimpin oleh Ketua
Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie
pada Oktober 2009. Angka kenaikan
itu bervariasi. Modal awalnya adalah
9% (2009), lalu berakhir di angka 16%
(Februari 2012). Belum ada lagi hasil
survei yang bisa diakses di situs web
Lembaga Survei Indonesia. Sementara
menurut Lingkaran Survei Indonesia,
per Oktober 2013, Partai Golkar dipilih
oleh 20,4 % pemilih. Di bawahnya ada
PDI Perjuangan dengan angka 18,7%.
Artinya, terjadi peningkatan sebanyak
100% lebih sejak 2009.
Kalau diproyeksikan ke
belakang, menurut Lembaga Survei
Indonesia, lima tahun lalu, Partai Golkar
dipilih oleh 18% pemilih pada Oktober
2008. Angka itu turun menjadi 16 %
(November 2008), 13% (Desember
2008), 15% (Januari 2009), 17%
(Februari 2009), lalu berakhir di angka
14% (April 2009). Artinya, dengan
gejolak politik sepanjang Oktober
2008 sampai April 2009, Partai Golkar
malah kehilangan sampai 4% pemilih.
Angka itu kalau diproyeksikan ke
suara pemilih tentulah berjumlah
jutaan pemilih.
Dengan proyeksi yang sama,
apabila angka Partai Golkar hari ini
adalah 20%, lalu terjadi “tsunami
politik” serupa sebagaimana lima
bulan terakhir menjelang Pemilu 2009,
Partai Golkar akan finish dengan
angka 15%. Angka 15% ini bisa saja
berjumlah sama dengan 2009, yakni
sekitar 15 Juta suara pemilih. Atau
bisa juga lebih kecil lagi, mengingat
meningkatnya jumlah golongan putih.
Asumsi
lain,
dengan
sedikitnya peserta pemilu, bisa jadi
angka 15% juga lebih banyak dari 15
juta pemilih. Perhitungan “matematis”
seperti ini yang membuat takut
sejumlah kalangan, ketika Daftar
Pemilih Tetap (DPT) masih menyimpan
masalah. Angka 10 Juta pemilih bisa
mendekati atau malah melebihi 10%
total pemilih.
Bagi Partai Golkar, tentu
masalahnya bukan DPT dalam artian
kecurigaan k