Suara Golkar edisi Desember 2013 | Page 50

rekrutmen ini, parpol tidak hanya bertugas menjaring kader sebanyakbanyaknya, namun juga menjaring dan membina kader potensial yang akan diproyeksikan menjadi pemimpin di masa depan. Demokrasi pasca-Reformasi 98 membuka gerbang bagi isu kepemimpinan itu. Praktik demokrasi melalui demokrasi prosedural dalam kontestasi politik kenegaraan, baik lokal maupun nasional, memposisikan parpol sebagai pemain kunci dalam setiap momentum pemilihan. Sekalipun ada “pemain independen” dalam kontestasi politik tersebut, parpol memiliki posisi tawar (bargaining position) lebih tinggi dalam melahirkan figur pemimpin dalam jabatan publik. Jika disimak, mayoritas jabatan-jabatan strategis di pemerintahan, pusat maupun daerah, ditempati oleh kader parpol. Mulai presiden, menteri negara, gubernur, 44 bupati, walikota hingga jabatanjabatan struktural-fungsional lain diisi oleh kader parpol, bersama lebihkurangnya. Parpol berada dalam kondisi euforia karena negara seolaholah “dikuasai” oleh parpol. Negara adalah parpol dan parpol adalah negara itu sendiri. Nyatanya, euforia tersebut berubah menjadi disforia ketika parpol dikritik telah gagal dalam menjalankan fungsinya terkait prospek kepemimpinan nasional. Parpol dinilai gagal dalam melahirkan figur pemimpin yang mampu menjadi pengayom untuk beragam kepentingan yang ada. Kritik paling keras ditujukan ketika parpol dinilai banyak melahirkan politisi, tapi nihil dalam melahirkan seorang negarawan. Apalagi bila parpol dianggap surplus politisi defisit negarawan. Terjebak pada kuantitas, mengesampingkan kualitas. Jika ada pemimpin yang lahir dari parpol, sejarah kepemimpinan di negara ini banyak diisi oleh kisah “tragis” kepemimpinan politik-karismatik yang berakhir pilu. Sukarno yang sebelumnya dielu-elukan rakyatnya, akhir masa jabatannya tercatat begitu suram. Soeharto yang diklaim sebagai “Bapak Pembangunan” jatuh melalui tekanan people power pada 1998. Presiden Abdurrahman Wahid hanya seumur jagung memerintah, kemudian dijatuhkan melalui forum politik di DPR. Kondisi ini menimbulkan gejala krisis kepercayaan. Salah satunya karena negara juga mengalami krisis kepemimpinan. Namun dengan fakta itu bukan berarti parpol tidak bisa berbenah, memperbaiki diri, dan mengembalikan kepercayaan publik. Justru fakta itu adalah momentum untuk menguatkan demokrasi partisipatoris antara rakyat dan negara melalui kepemimpinan nasional yang karismatik. Pemimpin yang mampu menjadi penemu jalan keluar dari setiap persoalan (problem solver). Pemimpin yang mampu memberikan visi, arah, dan tujuan. Pemimpin yang berpijak pada filsafat moral, tentang nilai-nilai kebajikan, ditambah ketegasan. Menyongsong pemilihan legislatif dan presiden tahun depan, publik berharap lahirnya pemimpin yang mendahulukan kepentingan orang banyak, di atas kepentingan pribadi dan golongan. Mari menyambut 2014 yang lebih cemerlang!