rekrutmen ini, parpol tidak hanya
bertugas menjaring kader sebanyakbanyaknya, namun juga menjaring
dan membina kader potensial yang
akan diproyeksikan menjadi pemimpin
di masa depan.
Demokrasi pasca-Reformasi
98 membuka gerbang bagi isu
kepemimpinan itu. Praktik demokrasi
melalui demokrasi prosedural dalam
kontestasi politik kenegaraan, baik
lokal maupun nasional, memposisikan
parpol sebagai pemain kunci dalam
setiap momentum pemilihan. Sekalipun
ada “pemain independen” dalam
kontestasi politik tersebut, parpol
memiliki posisi tawar (bargaining
position) lebih tinggi dalam melahirkan
figur pemimpin dalam jabatan publik.
Jika disimak, mayoritas
jabatan-jabatan
strategis
di
pemerintahan, pusat maupun daerah,
ditempati oleh kader parpol. Mulai
presiden, menteri negara, gubernur,
44
bupati, walikota hingga jabatanjabatan struktural-fungsional lain diisi
oleh kader parpol, bersama lebihkurangnya. Parpol berada dalam
kondisi euforia karena negara seolaholah “dikuasai” oleh parpol. Negara
adalah parpol dan parpol adalah
negara itu sendiri.
Nyatanya, euforia tersebut
berubah menjadi disforia ketika
parpol dikritik telah gagal dalam
menjalankan fungsinya terkait prospek
kepemimpinan nasional. Parpol dinilai
gagal dalam melahirkan figur pemimpin
yang mampu menjadi pengayom
untuk beragam kepentingan yang
ada. Kritik paling keras ditujukan
ketika parpol dinilai banyak melahirkan
politisi, tapi nihil dalam melahirkan
seorang negarawan. Apalagi bila
parpol dianggap surplus politisi defisit
negarawan. Terjebak pada kuantitas,
mengesampingkan kualitas.
Jika ada pemimpin yang
lahir dari parpol, sejarah
kepemimpinan di negara ini
banyak diisi oleh kisah “tragis”
kepemimpinan politik-karismatik
yang berakhir pilu. Sukarno
yang sebelumnya dielu-elukan
rakyatnya, akhir masa jabatannya
tercatat begitu suram. Soeharto
yang diklaim sebagai “Bapak
Pembangunan” jatuh melalui
tekanan people power pada
1998. Presiden Abdurrahman
Wahid hanya seumur jagung
memerintah, kemudian dijatuhkan
melalui forum politik di DPR.
Kondisi ini menimbulkan gejala
krisis kepercayaan. Salah satunya
karena negara juga mengalami
krisis kepemimpinan.
Namun dengan fakta itu bukan
berarti parpol tidak bisa berbenah,
memperbaiki diri, dan mengembalikan
kepercayaan publik. Justru fakta itu
adalah momentum untuk menguatkan
demokrasi partisipatoris antara rakyat
dan negara melalui kepemimpinan
nasional yang karismatik. Pemimpin
yang mampu menjadi penemu jalan
keluar dari setiap persoalan (problem
solver). Pemimpin yang mampu
memberikan visi, arah, dan tujuan.
Pemimpin yang berpijak pada filsafat
moral, tentang nilai-nilai kebajikan,
ditambah ketegasan.
Menyongsong
pemilihan
legislatif dan presiden tahun depan,
publik berharap lahirnya pemimpin
yang mendahulukan kepentingan
orang banyak, di atas kepentingan
pribadi dan golongan. Mari menyambut
2014 yang lebih cemerlang!