Suara Golkar edisi Desember 2013 | Page 48

Bagi rumah sakit yang menolak pasien orang miskin, akan diberikan sanksi. Tentang nasionalisme, ARB mengatakan, hal itu satu-satunya pertahanan di era globalisasi. Era globalisasi tidak bisa menjadi alasan menghilangkan batas-batas nasionalisme. Sebaliknya, Indonesia harus berani mengambil langkah-langkah yang membela kepentingan Indonesia terlebih dahulu baru membela kepentingan orang lain. Namun, kata ARB, nasionalisme itu tidak sama dengan nasionalisasi. Melakukan nasionalisasi, selain melanggar kontrak juga akan membuat Indonesia dimusuhi dunia. Nasionalisme dalam budaya juga sangat penting. Sebab, budaya itu tidak statis. Karena itu, penting bagi Indonesia mempertahankan budaya daerah sebagai dasar budaya Indonesia. “Harus bisa betul-betul kita pertahankan, tetapi coba kita lihat siapa yang bisa menari Jawa, sedikit seka- 42 li. Bahkan penari laki-laki dianggap banci. Padahal itu adalah bagian dari budaya. Misalnya, menyapa orang tua dengan baik. Dulu, saat saya kecil saya mencium tangan orang tua. Saat ini kita kehilangan budaya itu. Kita harus kembali pada nilai-nilai kita sebelumnya,” tandas ARB. Dalam kesempatan itu, ARB juga memaparkan mengenai Visi Negara Kesejahteraan 2045. Bahkan, ARB juga menyerahkan konsep cetak biru itu kepada Pemred Harian Kompas Rikard Bagun. Rencana pemerintah membuka pintu investasi bagi investor asing dalam beberapa sektor yang sebenarnya bisa ditangani oleh para pengusaha nasional, juga menarik perhatian redaksi Kompas. Menanggapi hal itu, ARB menegaskan, hal itu tidak bisa dibiarkan. Menurut ARB, perusahaan nasional harus diberi kesempatan. ARB pun menyitir ilustrasi pengurus DPP Partai Golkar Pontjo Sutowo yang menga- takan, “Tidak bisa seseorang menjadi ahli masak hanya dengan membaca buku memasak.” “Jadi, orang juga mesti ikut belajar mengerjakan itu. Demikian pula kalau seumpamanya kita tidak pernah kasih pekerjaan. Mana ia bisa dapat teknologinya. Dia gak pernah bisa. Sekarang kita membuka, buka begitu saja dan disuruh bersaing langsung dengan asing. Kan kita gak bisa bilang bahwa mereka (asing) akan kasih dan mereka buka tapi kalau kita sudah bersaing dengan orang yang teknologinya lebih tinggi dari kita, kita biarkan dia ya kalah dong kita,” jelas ARB. Pertemuan dengan redaksi Harian Kompas diakhiri dengan penyerahan Buku Pintar Kompas yang diterima langsung oleh ARB. Sebelum berpisah, baik tim redaksi Kompas maupun rombongan ARB menikmati makan bersama. (Tim Media Center)