Bagi rumah sakit yang menolak pasien
orang miskin, akan diberikan sanksi.
Tentang nasionalisme, ARB
mengatakan, hal itu satu-satunya pertahanan di era globalisasi. Era globalisasi tidak bisa menjadi alasan menghilangkan batas-batas nasionalisme.
Sebaliknya, Indonesia harus berani
mengambil langkah-langkah yang
membela kepentingan Indonesia terlebih dahulu baru membela kepentingan
orang lain.
Namun, kata ARB, nasionalisme itu tidak sama dengan nasionalisasi. Melakukan nasionalisasi, selain
melanggar kontrak juga akan membuat Indonesia dimusuhi dunia.
Nasionalisme dalam budaya
juga sangat penting. Sebab, budaya
itu tidak statis. Karena itu, penting bagi
Indonesia mempertahankan budaya
daerah sebagai dasar budaya Indonesia. “Harus bisa betul-betul kita pertahankan, tetapi coba kita lihat siapa
yang bisa menari Jawa, sedikit seka-
42
li. Bahkan penari laki-laki dianggap
banci. Padahal itu adalah bagian dari
budaya. Misalnya, menyapa orang
tua dengan baik. Dulu, saat saya kecil
saya mencium tangan orang tua. Saat
ini kita kehilangan budaya itu. Kita harus kembali pada nilai-nilai kita sebelumnya,” tandas ARB.
Dalam kesempatan itu, ARB
juga memaparkan mengenai Visi Negara Kesejahteraan 2045. Bahkan, ARB
juga menyerahkan konsep cetak biru
itu kepada Pemred Harian Kompas Rikard Bagun.
Rencana pemerintah membuka
pintu investasi bagi investor asing dalam beberapa sektor yang sebenarnya
bisa ditangani oleh para pengusaha
nasional, juga menarik perhatian redaksi Kompas.
Menanggapi hal itu, ARB menegaskan, hal itu tidak bisa dibiarkan.
Menurut ARB, perusahaan nasional
harus diberi kesempatan. ARB pun
menyitir ilustrasi pengurus DPP Partai
Golkar Pontjo Sutowo yang menga-
takan, “Tidak bisa seseorang menjadi
ahli masak hanya dengan membaca
buku memasak.”
“Jadi, orang juga mesti ikut belajar mengerjakan itu. Demikian pula
kalau seumpamanya kita tidak pernah
kasih pekerjaan. Mana ia bisa dapat
teknologinya. Dia gak pernah bisa.
Sekarang kita membuka, buka begitu
saja dan disuruh bersaing langsung
dengan asing. Kan kita gak bisa bilang
bahwa mereka (asing) akan kasih dan
mereka buka tapi kalau kita sudah bersaing dengan orang yang teknologinya lebih tinggi dari kita, kita biarkan dia
ya kalah dong kita,” jelas ARB.
Pertemuan dengan redaksi Harian Kompas diakhiri dengan penyerahan Buku Pintar Kompas yang diterima langsung oleh ARB. Sebelum
berpisah, baik tim redaksi Kompas
maupun rombongan ARB menikmati
makan bersama. (Tim Media Center)