MINA BAHARI Edisi II - 2017 | Page 22

20 PRIORITAS B erdasarkan data The State of World Fisheries and Aquaqul- ture, FAO 2016, tren ketersedian stok ikan di dunia semakin lama menurun, sementara pada tahun 2013, ternyata han- ya 10.5% dari 441 spesies ikan di dunia yang dapat dieksploitasi. Artinya mayoritas sudah overfishing yang salah satunya disebab- kan oleh praktik penangkapan ikan secara illegal, termasuk di da- lamnya adalah praktik-praktik Destructive Fishing (DF). Penangkapan ikan dengan cara merusak (destructive fishing) dapat dikategorikan dalam penangkapan ikan secara ilegal sebab berpotensi menyebabkan kerugian yang san- gat besar, tidak hanya untuk saat ini, tetapi berdampak mengancam pada keberlanjutan pada sektor ke- lautan dan perikanan di masa yang akan datang. Dampak yang nyata dari kegiatan DF adalah rusaknya terumbu karang dan habitat ikan serta mengancam keselamatan jiwa sang pelaku. Menurut Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Ke- lautan dan Perikanan (PSDKP) Eko Djalmo Asmadi, kegiatan DF yang dilakukan oleh oknum mas- yarakat umumnya menggunakan bahan peledak (bom ikan) dan bahan beracun untuk menangkap ikan. “Penggunaan bahan-bahan tersebut mengakibatkan kerusakan terumbu karang dan ekosistem di sekitarnya, serta menyebabkan kematian berbagai jenis dan uku- ran yang ada di perairan tersebut,” jelas Eko dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (7/6). Selain peledakan, lanjut Eko, aktivitas lainnya yang cukup mere- sahkan yakni penggunaan racun ikan oleh sejumlah nelayan. “Kare- na penelitian menunjukkan bahwa penggunaan bom seberat 250 gram akan menyebabkan luasan terum- bu karang yang hancur mencapai 5,30 m2. Bagaimana kalau beratn- ya 2 kg, atau 2.000 gram, bayang- kan betapa besar kerusakannya,” jelasnya. Menurut Eko, dalam penang- kapan pelaku bom ikan dibedakan dengan meringkus pelaku illegal fishing. Hal ini karena para pelaku MINA BAHARI | Agustus 2017 bekerja berkelompok dan sangat rapi. Adapun pelaku pengebom bekerja dalam tim yang terpisah dan dengan pembagian tugas masing-masing. Eko menyebut, bi- asanya para pelaku bekerja dalam 4 tim dengan perahu yang berbe- da. Setiap kelompok memiliki tugas masing-masing, dari pengamatan, peracikan bom, peledakan bom, dan terakhir pemanen ikan. “Pertama mereka ada tim pen- injau dia periksa situasi, perahu kedua itu tim yang bawa bahan peledak yang belum dicampur, ada tim lagi bawa hulu ledaknya (det- onator), setelah kemudian dileda- kkan, ikan hasil bom itu dibiarkan saja ditinggal, nanti ada nelayan yang datang khusus mengambil ikan. Seolah dia sedang jaring ikan saja,” sambungnya. Terdapat beberapa praktik penangkapan ikan yang merusak di dunia, berikut ini merupakan deskripsi singkat dari 3 (tiga) cara penangkapan yang prakteknya se- bagian besar terjadi di Indonesia: Blast fishing merupakan pen- angkapan ikan menggunakan ba- han peledak dengan mematikan ikan agar mudah dikumpulkan. Bi- asanya diperuntukkan menangkap ikan pelagis dan ikan karang, dan umumnya untuk konsumsi pasar lokal. Menurut beberapa literatur, blast fishing telah dilakukan sejak tahun 1600-an, kemudian dikenal di Indonesia sejak jaman Perang Dunia II (dilakukan oleh militer Je- pang untuk memberikan pasokan makanan selama masa perang). Cyanide Fishing adalah cara penangkapan ikan dengan meng- gunakan racun Natrium atau Potas- sium Sianida melalui pelumpuhan ikan, agar mudah ditangkap dalam keadaan masih hidup. Digunakan untuk menangkap ikan karang dan ikan hias yang bernilai ekonomis tinggi, seperti ikan Napoleon, Ker- apu dan Sunu. Cyanide Fishing ini pertama kali dipakai oleh maha- siswa Taiwan pada tahun 1954 un- tuk penelitian, sementara itu pada tahun 1983 telah digunakan di Indo- nesia dan Filipina untuk memasok perdagangan ikan akuarium. Cantrang adalah alat tangkap jenis pukat tarik yang merupa- kan alat tangkap ikan bersifat aktif dengan pengoperasiannya dilaku- kan di dasar perairan (menyentuh dasar perairan). Cantrang saat ini telah dimodifikasi, menggunakan pemberat, dan pengoperasiannya ditarik mesin sehingga menimbul- kan kerusakan bawah laut. Kondisi ini menyebabkan deplesi stok atau pengurangan stok sumberdaya ikan, sehingga hasil tangkapan akan semakin berkurang. Ancaman Nyata Bagi Jiwa Sang Pelaku Tidak hanya merusak ekosistem, praktik penangkapan dengan cara yang merusak memiliki ancaman nyata bagi pelakunya. Misalnya pada penangkapan dengan penge- boman, kandungan Amonium nitrat dapat menyebabkan sakit kepala, muntah, diare berdarah, jantungan, kejang, kolaps seketika, dan sesak napas. Serta apabila zat kimia ini bercampur dengan air, maka akan membentuk asam, hal ini dapat mengakibatkan iritasi pada mata, hidung, dan kulit. Selain itu, apabila terkena ledakan dapat menyebab kan kehilangan anggota badan, bahkan kematian.