MINA BAHARI Edisi I - 2017 | Page 45

TOKOH Ini termasuk besar. Oleh sebab itu, Ibu Menteri men- jadi one the global champion dalam memperjuang- kan pemberantasan IUUF, itu menjadi isheries crime yang sifatnya lintas negara dan terorganisir. Itu yang disebut dengan Transnational Organize Fisheries Crime (TOFC). Beberapa waktu lalu kan Presiden Joko Widodo pernah meminta Satgas 155 untuk menelusuri aliran uang dari pencurian ikan ini, boleh dicerit- ain sedikit hasilnya bagaimana? Jadi dalam Undang-undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) itu, karena Ibu Menteri ini merupakan menteri yang memiliki portofolio penega- kan hukum di bidang perikanan, Ibu bisa meminta bantuan PPATK (Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan). Oleh sebab itu, Menteri Kelautan Peri- kanan bersama Kepala PPATK sudah menandatan- gani perjanjian kerjasama -bukan perjanjian kesepa- haman- antara Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan PPATK. Nah, oleh sebab itu untuk melaksanakan perin- tah dari Bapak Presiden, Ibu Menteri tentu sangat intensif menggunakan bantuan dari PPATK. Selain Bu Menteri, tidak ada yang boleh tahu tentang itu, karena itu termasuk rahasia negara. Tapi ada aparatur negara yang berkecimpung dalam pencucian uang tersebut? Ya tentu saja. Misalkan ada tindak pencucian uang, Bu Menteri memberi laporan hasil analisis dengan menindaklanjutinya kepada pimpinan Polri, karena pimpinan Polri inilah yang memiliki kewenangan untuk itu. Kalau misalkan Ibu Menteri melihat ada potensi tindak pidana korupsi, tentu saja Ibu Ment- eri kerjasama dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Jadi nanti dari pemeriksaan PPATK, tentu saja ditindaklanjuti bersama KPK, karena KKP tidak punya wewenang untuk penegakkan hukum, sebagai pelaksanaan dari Undang Undang tentang TPPU. Sejauh ini, apa saja yang menjadi motif pencuri- an ikan yang ditemui di lapangan? Modusnya macam-macam dan beragam. Paling tidak, ada 13. Tapi yang paling menarik adalah yang terakhir, karena kapal eks asing yang GT nya besar-besar, yang disebut kapal esk asing itu kan tidak ada yang di bawah 150 GT. Ya mungkin ada tapi bisa dihitunglah. Kebanyakan di atas 150 hingga 200, sampe dengan 600 hingga 700 GT. Itu baru kapal tangkap, belum kapal angkut. Nah, sekarang itu karena Ibu melarang mengop- erasikan kapal eks asing, karena daya jelajah dan daya jarak itu sangat besar dan tinggi bisa mengu- ras sumber daya ikan kita. Sehingga nelayan tidak punya akses. Maka dari itu Ibu melarang, kapal- kapal eks asing tersebut. Bahkan sekarang ini, kapal eks asing baik kapal tangkap maupun kapal angkut, yang parkir di pelabuhan-pelabuhan itu, didorong untuk keluar dari Indonesia dan melakukan dulu apa yang disebut deregistrasi. Apakah deregistrasi melanggar hukum? Tidak sama sekali. Karena itu adalah konsekuensi dari kebijakan pemerintah, untuk meenrjemahkan apa yang dise- but kedaulatan, keberlanjutan dan kesejahteraan. Karena kesejahteraan nelayan Indonesia, saya kira jumlahnya tidak kecil ya. Nah, apakah itu melanggar hukum? Tidak. Kenapa? Karena UNCLOS (United Nations Confession Law of the Sea) itu salah satu pasalnya mengatakan bahwa setiap negara ber- tanggung jawab terhadap tanda kebangsaan yang dikeluarkan pada kapal tertentu. Ini yang disebut lag state responsibility. Oleh sebab itu, Indonesia punya kewajiban untuk menghapuskan terlebih dahulu tan- da kebangsaan sebelum diperkenankan atau dibeli oleh pihak ketiga, atau dijual pada pihal ketiga di luar Indonesia. Ini yang penting, apakah seluruh kapal-kapal yang kita suruh keluar tersebut melalui proses deregistra- si? Kapal-kapal yang boleh dibilang record-nya jelek pasti melalui deregistrasi. Nah, kapal-kapal yang re- cordnya sangat jelek dan harus melalui satu proses penegakkan hukum terlebih dahulu, ini tidak diperke- nankan untuk melakukan deregistrasi. Jadi deregis- trasi ini justru dilakukan oleh kapal-kapal eks asing yang relatif tidak terlalu serius pada tindak pidana yang dilakuka nnya. Jadi itu bedanya yang blacklist- ed terutama yang kapal maupun ikannya disita dan dijadikan barang bukti itu tidak boleh keluar. Jadi diselesaikan mulai proses hukum di Indonesia. Misalnya Sino. Kapal itu kan ada 10 yang masuk penegakkan hukum. 5 di Merauke, 5 di Ambon. Di Merauke itu penyidikkannya dilakukan oleh PSDKP, di Ambon dilakukan oleh TNI AL. Yang di Ambon, itu 4 berkas perkara, 4 SINO berarti itu sudah diputus dan sudah inal and banding. Mengapa kapal ilegal ishing dimusnahkan, tidak diberikan kepada nelayan? Tidak. Jadi kalau diberikan ada satu efek psikolo- gis. Jadi kalau kapal melakukan kejahatan serius, diberikan kepada nelayan, itu tidak tepat. Kita harus menyampaikan pesan, simbol yang kuat bahwa kita tidak mentolerir tindak pidana atau ke- jahatan perikanan yang dilakukan individu maupun perusahaan, pemilik dari kapal-kapal tersebut. Jadi itu adalah sinyal detterent effect yang ingin disam- paikan oleh Bu Menteri. Efek penjeraan dan kapok. Jadi kita tidak mau, belum apa-apa sudah diam- bil, dan negara malah dikembalikan lagi kepada nelayan. Nanti nelayan dioperasikan lagi, dan bisa juga pemiliknya beli lagi pada nelayan. Jadi saya kira, sekarang keputusan Majelis Hukum untuk merampas kapal ilegal ddimusnahkan sudah tepat. April 2017 | MINA BAHARI 43