Majalah LPM API #1 Majalah API 1 | Page 41

memastikan bahwa mataku masih normal dan tak sedang dalam tahap reparasi. Tapi tetap saja menunjukan angka yang sama. Astaga,,,telat 30 menit, secepat kilat aku berlari menuju halaman kampus yang telah dipenuhi oleh barisan panjang layaknya antrian subsidi BBM. Baru saja beberapa langkah terdengar suara mistis entah darimana asalnya ternyata suara itu berasal dari angkot yang kutumpangi, begitu paniknya aku karena telat sampai lupa membayar angkot. Supir angkot hanya menatapku dengan senyuman lebar, dan itu semakin membuatku ingin menghilang ke kutub utara atau tinggal di planet Pluto selama sebulan. Tapi yang kudengar planet Pluto telah dihapus dari daftar planet tata surya, masa bodoh planet Pluto akan berubah menjadi asteroid atau meteor sekalipun aku tak peduli. Tatapan aneh dari beberapa penumpang di angkot mem- buatku semakin ingin cepat-cepat berlalu dari tempat itu. “ Never mind who’s care about that ” batinku dalam hati. Ku percepat langkah kakiku dan langsung bergabung dengan deretan antrian subsidi BBM, salah maksudku antrian telat. Rasanya keberuntungan tak begitu berpihak padaku tapi it’s okay aku past i akan melewati semuanya dengan senyum penuh kemenangan. Saatnya bergabung dengan teman-temanku yang lain, pemandangan yang baru bersama orang-orang baru. Salah satu kenalan baruku adalah Sisy, yang menurutku sedikit cerewet dan lucu dan yang kuingat sisy orang pertama yang menyapaku di kampus. Ketika itu Sisy menan- yakan ruangan kelompoknya padaku yang ternyata satu kelompok juga denganku. Sisy fans berat sama salah satu panitia, menurutku apa tidak terlalu cepat mengidolakan seseorang, tapi tak mengapa lagi pula seperti kata ibu kosku “ gue harus bilang wooww gituu..” Begitulah setiap lembaran kenanganku kembali menghiasi pikiranku. Dan aku sendiri adalah Pricill, The secret Admirer of the year, kurasa itu julukan yang sangat tepat untukku. Jika saja aku lebih peka pada suara hatiku mungkin saja julukan itu tak akan menempel padaku. Tapi semuanya ku- terima sebagai bagian dari bingkai cerita hidupku. Predikat Secret Admirer yang melekat padaku dimulai ketika aku ditugaskan panitia Ospek untuk membacakan puisi cinta kepada salah satu panitia sebagai hukuman telat. Ketika itu rasanya aku bagaikan patung liberty yang baru saja terkena sindrom anti bicara. Dengan wajah memerah bagaikan cabe rawit kupaksakan diriku untuk membacakan sisa-sisa kalimat yang tertahan ditenggorokanku. Rasanya leherku harus di transplatasi sebentar lagi karena dari tadi terus menunduk, sampai detik terakhir pun aku tak tau siapa yang kubacakan puisi cinta. Dalam benakku yang penting tugasku selesai, dan ku berharap orang itu segera terkena Alzheimer akut sehingga tak dapat mengingat kejadian ini. Tapi ternyata salah semuanya berjalan tak sesuai harapan, meski pada akhirnya meninggalkan kenan- gan terindah. Beberapa hari setelah ospek kuliah aktif dimulai dan aku disibukan oleh segudang tugas yang menumpuk. Dan sindrom pelupaku kambuh lagi kali ini aku lupa membawa dompetku. Seluruh isi tas ku aduk- aduk tak karuan, ingin rasanya segera memakai mantel ajaib Harry potter dan pergi menghilang ke samudra antartika. Namun Tuhan selalu menyediakan pertolon- gan tepat pada waktunya, disampingku berdiri seorang cowok tinggi, dengan backpack dipunggungnya yang langsung membayar angkot yang kutumpangi. Peras- aanku mengatakan aku pernah melihat orang ini sebe- lumnya tapi entah dimana, orang itu menatapku seakan tahu apa yang kupikirkan dan bisa menebak apa yang kupikirkan sebelum aku mengatakannya. “ Dompetmu pasti keting- galan.. “ ka- tanya setengah berbisik. “ Iya tadinya karena takut telat jadi terburu-buru, oh iya makasih ya besok kuganti uangnya ” jawabku dengan tersipu malu. “ Gak usah santai aja,, lagian tadi kita satu angkot kebetulan aja tadi motorku lagi direparasi dibengkel. Oh iya aku Adrian ” jelasnya panjang lebar lalu mengulurkan tangannya. “ Aku Pricill,, makasih ya ” balasku sambil tersenyum. “oh iya kamu ngambil jurusan apa.. ” tanya adrian. “ jurusan Desain grafis..” jawabku singkat. “ Sama aku juga anak Desain grafis semester lima, by the way kamu yang kemarin baca puisi cinta itu kan.. puisinya romantis juga “ kata Adrian membuat jan- tungku berdegup kencang dan hampir saja melintasi lapisan ozon. Namun bukan karena puisiku dibilang ro- mantis tapi karena ternyata masih ada yang mengingat kejadian memalukan itu. Aku hanya tersenyum dengan wajah yang sebentar lagi akan gosong menahan malu. “ Pricill aku ke kelas dulu,, ini nomer handphoneku kalau kamu butuh bantuan dalam hal desain grafis hubungi aku aja siapa tahu ada yang bisa kubantu, ” jelas Adrian panjang lebar sambil mengulurkan hand- phonenya. Awal pertemuan yang aneh tapi menyisakan goresan dihati. Begitulah pertama kali mengenal sosok cowok dengan nama lengkap Adrian Satria Wijaya. Orang yang membuatku menyandang predikat The secret admirer of the year. Terlebih Adrian benar-benar menepati