Suara hati
Oleh Ancy Mau
H
idup adalah anugerah terbesar bagi setiap
makhluk yang ada di kolong langit ini. Layaknya tuts
piano begitulah hidup mempunyai dua sisi yang ber-
beda. Hitam dan putih tergantung di sisi mana kita se-
dang berada saat ini. Sebenarnya perbedaan itu tak akan
pernah ada jika hal yang dinamakan baik ataupun buruk
tak pernah
ada, karena pada intinya
tetap
saja sama yang membuat
segala
sesuatunya berbeda
adalah
yang baik dan yang
buruk.
Pada dasarnya setiap
insan
ingin berada pada sisi
putih, tapi
realita mengatakan hara-
pan tidak se-
lalu sejalan dengan kenyataan.
Ibarat pertempuran Putih dan Hitam saling berhadapan
untuk memperebutkan posisi di bumi ini. Human error
semakin bertebaran dimana-mana merusak otak setiap
insan dan pada akhirnya membuat bumi tak lagi bersa-
habat dengan para penghuninya. Seakan kasih hampir
saja pudar terhapus oleh hiruk pikuk dunia. Tapi masih
ada Sang pemilik nafas kehidupan yang senantiasa me-
lindungi dan memberikan kasihnya dengan melimpah
pada setiap makhluk ciptaan-Nya.
Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang
begitu berharga dilengkapi dengan otak untuk
berpikir sehingga membuat manusia berbeda
dari makhluk hidup yang lainnya. Dan hati adalah
salah satu organ manusia yang berfungsi untuk
menetralisir racun dalam tubuh. Namun yang tak
kalah penting dari fungsi hati yaitu jauh di dasar
jiwa seseorang terdapat sebuah suara yang mana
tak dapat diihat namun dapat berbicara pada diri kita
saat dibutuhkan ataupun ketika sedang bimbang. Suara
itu selalu mengingatkan kita jika sedang salah dan akan
memuji kita jika kita benar. Dia akan mengatakan seju-
jurnya apa yang tersimpan dalam hati , meski kadang tak
bisa diungkapkan dengan kata-kata itulah suara hati.
Setiap orang akan mengolah pikiran dengan
otaknya, merasakannya dengan perasaan hati dan kemu-
dian suara hati yang akan meneriakan setiap perasaan
yang dirasakan. Begitulah hidup begitu indah jika
setiap detiknya dapat kita hargai, dan mampu mem-
buat setiap hari-hari yang kita lewati dengan penuh
kemenangan.
Baru saja aku melahap beberapa paragraph
terakhir dalam buku penuh inspirasi yang kubaca.
Pikiran ini melayang-layang entah sampai ke lapisan bumi
yang keberapa, sore ini tampak langit sedang bersedih dan
kurasa hampir saja menangis, wajahnya berubah menjadi
hitam dan sesekali mengeluarkan suara geraman. Namun
anehnya jika langit sedang menangis hampir seisi bumi
menyambutnya dengan senyum penuh syukur, kekeringan
akhirnya teratasi kuharap rintik-rintiknya juga dapat mem-
basahi separuh jiwaku yang kering. Ternyata benar langit
baru saja menumpahkan tetes-tetes airmatanya ke bumi,
tanah yang kering perlahan-lahan dibasahi olehnya.
Aku berlari kecil menghindari tetesan air itu
dibawah atap halte Bus depan kampus. Sesekali ku rapikan
rambutku yang mulai kusut terkena air mata dari langit
yang oleh insan dunia dinamakan hujan. Kulihat sekelil-
ingku tampak jalanan sepi, kurasa setiap orang akan lebih
memilih masuk kerumah dan membuat minuman atau
makanan hangat disaat hujan seperti ini.
Beberapa waktu telah berlalu dan aku terus
berbicara dengan diriku sendiri dan otakku mengolah
pikiranku menjadi sebuah imaginasi. Namaku Pricilla
Wulandari alumni mahasiswa Universitas Nusa Bakti
jurusan Desain Grafis, seharusnya sekarang aku semes-
ter akhir tapi karena beberapa hal terpaksa aku berhenti
kuliah. Pandanganku beralih pada spanduk yang terpajang
di depan gerbang kampus bertuliskan Reuni mahasiswa
Universitas Nusa Bakti 2008, kakiku melangkah menuju
ke halaman kampus, namun sejenak langkahku terhenti
kurasa aku baru saja melihat seseorang yang sangat tak
asing bagiku tapi mungkin itu hanya ilusiku saja. Anganku
kembali melayang menyusuri setiap detik kenangan yang
tersimpan rapi dalam otakku.
Kenangan itu terukir beberapa tahun yang
silam ketika aku menginjakan kaki di kampus ini seba-
gai seorang mahasiswa baru yang siap untuk menjalani
sederet kegiatan Ospek kampus yang cukup melelahkan
tapi menyimpan kenangan tersendiri bagiku. Kurasa kali
ini aku benar-benar harus menjadi seorang pelari mara-
ton agar tiba di kampus. Sepanjang perjalanan otakku di
penuhi oleh bayangan tentang Ospek dan sederet pera-
turan yang disampaikan panitia satu hari sebelumnya. Dan
karena itulah mengapa hari ini aku harus rela ke kampus
diantar angkutan umum yang sopirnya baru saja mengin-
trogasiku dengan sederet pertanyaan layaknya polisi lalu
lintas. Penyebabnya adalah kostum dan beberapa pernak-
pernik yang tidak dapat disangsikan lagi bahwa aku adalah
seseorang mahasiswa baru yang akan mengikuti ospek.
Bagaimana tidak rambutku yang pnjang dikuncrit dua bak
gadis desa dari Gunung kidul, ditambah tas kardus dan ID
card berbahan kardus lengkap dengan fotoku yang terpam-
pang disana.
Aku tersentak dari lamunanku ketika angkot yang ku-
tumpangi berhenti tepat didepan gerbang kampus dengan
ucapan selamat datang mahasiswa baru. Kulirik jam tan-
ganku yang menunjukan pukul 05.30 seketika jantungku
berdegup kencang, sekali lagi kulihat jam tanganku untuk