Majalah LPM API #1 Majalah API 1 | Page 40

Suara hati Oleh Ancy Mau H idup adalah anugerah terbesar bagi setiap makhluk yang ada di kolong langit ini. Layaknya tuts piano begitulah hidup mempunyai dua sisi yang ber- beda. Hitam dan putih tergantung di sisi mana kita se- dang berada saat ini. Sebenarnya perbedaan itu tak akan pernah ada jika hal yang dinamakan baik ataupun buruk tak pernah ada, karena pada intinya tetap saja sama yang membuat segala sesuatunya berbeda adalah yang baik dan yang buruk. Pada dasarnya setiap insan ingin berada pada sisi putih, tapi realita mengatakan hara- pan tidak se- lalu sejalan dengan kenyataan. Ibarat pertempuran Putih dan Hitam saling berhadapan untuk memperebutkan posisi di bumi ini. Human error semakin bertebaran dimana-mana merusak otak setiap insan dan pada akhirnya membuat bumi tak lagi bersa- habat dengan para penghuninya. Seakan kasih hampir saja pudar terhapus oleh hiruk pikuk dunia. Tapi masih ada Sang pemilik nafas kehidupan yang senantiasa me- lindungi dan memberikan kasihnya dengan melimpah pada setiap makhluk ciptaan-Nya. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang begitu berharga dilengkapi dengan otak untuk berpikir sehingga membuat manusia berbeda dari makhluk hidup yang lainnya. Dan hati adalah salah satu organ manusia yang berfungsi untuk menetralisir racun dalam tubuh. Namun yang tak kalah penting dari fungsi hati yaitu jauh di dasar jiwa seseorang terdapat sebuah suara yang mana tak dapat diihat namun dapat berbicara pada diri kita saat dibutuhkan ataupun ketika sedang bimbang. Suara itu selalu mengingatkan kita jika sedang salah dan akan memuji kita jika kita benar. Dia akan mengatakan seju- jurnya apa yang tersimpan dalam hati , meski kadang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata itulah suara hati. Setiap orang akan mengolah pikiran dengan otaknya, merasakannya dengan perasaan hati dan kemu- dian suara hati yang akan meneriakan setiap perasaan yang dirasakan. Begitulah hidup begitu indah jika setiap detiknya dapat kita hargai, dan mampu mem- buat setiap hari-hari yang kita lewati dengan penuh kemenangan. Baru saja aku melahap beberapa paragraph terakhir dalam buku penuh inspirasi yang kubaca. Pikiran ini melayang-layang entah sampai ke lapisan bumi yang keberapa, sore ini tampak langit sedang bersedih dan kurasa hampir saja menangis, wajahnya berubah menjadi hitam dan sesekali mengeluarkan suara geraman. Namun anehnya jika langit sedang menangis hampir seisi bumi menyambutnya dengan senyum penuh syukur, kekeringan akhirnya teratasi kuharap rintik-rintiknya juga dapat mem- basahi separuh jiwaku yang kering. Ternyata benar langit baru saja menumpahkan tetes-tetes airmatanya ke bumi, tanah yang kering perlahan-lahan dibasahi olehnya. Aku berlari kecil menghindari tetesan air itu dibawah atap halte Bus depan kampus. Sesekali ku rapikan rambutku yang mulai kusut terkena air mata dari langit yang oleh insan dunia dinamakan hujan. Kulihat sekelil- ingku tampak jalanan sepi, kurasa setiap orang akan lebih memilih masuk kerumah dan membuat minuman atau makanan hangat disaat hujan seperti ini. Beberapa waktu telah berlalu dan aku terus berbicara dengan diriku sendiri dan otakku mengolah pikiranku menjadi sebuah imaginasi. Namaku Pricilla Wulandari alumni mahasiswa Universitas Nusa Bakti jurusan Desain Grafis, seharusnya sekarang aku semes- ter akhir tapi karena beberapa hal terpaksa aku berhenti kuliah. Pandanganku beralih pada spanduk yang terpajang di depan gerbang kampus bertuliskan Reuni mahasiswa Universitas Nusa Bakti 2008, kakiku melangkah menuju ke halaman kampus, namun sejenak langkahku terhenti kurasa aku baru saja melihat seseorang yang sangat tak asing bagiku tapi mungkin itu hanya ilusiku saja. Anganku kembali melayang menyusuri setiap detik kenangan yang tersimpan rapi dalam otakku. Kenangan itu terukir beberapa tahun yang silam ketika aku menginjakan kaki di kampus ini seba- gai seorang mahasiswa baru yang siap untuk menjalani sederet kegiatan Ospek kampus yang cukup melelahkan tapi menyimpan kenangan tersendiri bagiku. Kurasa kali ini aku benar-benar harus menjadi seorang pelari mara- ton agar tiba di kampus. Sepanjang perjalanan otakku di penuhi oleh bayangan tentang Ospek dan sederet pera- turan yang disampaikan panitia satu hari sebelumnya. Dan karena itulah mengapa hari ini aku harus rela ke kampus diantar angkutan umum yang sopirnya baru saja mengin- trogasiku dengan sederet pertanyaan layaknya polisi lalu lintas. Penyebabnya adalah kostum dan beberapa pernak- pernik yang tidak dapat disangsikan lagi bahwa aku adalah seseorang mahasiswa baru yang akan mengikuti ospek. Bagaimana tidak rambutku yang pnjang dikuncrit dua bak gadis desa dari Gunung kidul, ditambah tas kardus dan ID card berbahan kardus lengkap dengan fotoku yang terpam- pang disana. Aku tersentak dari lamunanku ketika angkot yang ku- tumpangi berhenti tepat didepan gerbang kampus dengan ucapan selamat datang mahasiswa baru. Kulirik jam tan- ganku yang menunjukan pukul 05.30 seketika jantungku berdegup kencang, sekali lagi kulihat jam tanganku untuk