[indonesia]
menjadi tukang becak. Salah satu tulisannya berjudul ‘Jejaring Sosial
di Mata Tukang Becak’ dimuat di sebuah media cetak terbitan Jakarta
18 Februari 2010.
Berawal dari situlah Harry mulai rajin dalam bidang tulis menulis.
Laptop pemberian Rektor SMA Kolese de Britto Yogyakarta menjadi
alatnya sehari-hari. Tapi dia tetap menjadi tukang becak.
Suatu hari dia berbincang-bincang dengan seorang penulis yang
dengan sabar mendengar curahan hati Harry. “Saya harus berjuang
membesarkan 3 anak saya. Sudah sepuluh tahun saya jadi tukang
becak. Tak ada yang berubah. Saya ingin mengubah nasib. Saya
ingin menulis buku. Tetapi, mana ada penerbit yang mau dengan saya
yang hanya tukang becak?” kata Harry malam itu kepada Sonny, sang
penulis.
Tak disangka, Sonny menawarkan bantuan. Dia mengajak Harry
berkenalan dengan Bambang Trim, General Manager buku umum
di penerbit Tiga Serangkai. “Tiba-tiba saja semua dimudahkan dan
lancar. Sejak Nopember 2010, saya mulai membuat buku saya itu,“
kata Harry. Bulan Mei 2011, Harry meluncurkan bukunya di Goethe
Institute Jakarta.
Buku itu banyak menceritakan perjuangan Harry dan becaknya dalam
menyikapi hidup. Dia adalah seorang tukang becak apa adanya.
Hidup dengan kerja keras, membanting tulang hingga rasa lelah.
Cucuran keringat tanpa henti adalah penampilannya setiap hari.
Kebersahajaan, keberanian dan ketulusan dalam menjalani hidup
adalah modal penting bagi manusia untuk berusaha. Harry mencoba
menuliskan sebuah semangat kecil. Lewat buku yang ia tulis, ia
sedang mencoba menyapa siapa saja untuk selalu memberi perhatian
terhadap Yogya. Lewat becak, kejujuran, kesederhanaan dan jejaring
sosial. Lewat menulis dan semangat untuk berbuat yang lebih baik.
Harry juga telah membuka mata orang lain secara pribadi, bahwa
ia manusia yang sederhana. Lewat status-status di Facebook dan
jejaring sosial lainnya. Tercermin dalam komentar dan pengakuan
lugu. Betapa kehidupan tukang becak yang setiap kali mendapatkan
penumpang, adalah tragic comedy untuk kita.
Terhadap buku yang dihasilkannya, dia berpendapat “Buku ini sukses
karena saya seorang tukang becak. Coba kalau saya bukan tukang
becak, mungkin ini hanya buku biasa yang berisi curhatan (curahan
hati, red),” katanya. Saat ini dia juga banyak mendapat undangan
menjadi pembicara di beberapa seminar.
memenuhi kebutuhan keluarganya. Harry memiliki 3 orang anak,
sedangkan istrinya telah meninggal saat gempa Yogya 2006 lalu.
Buku ini memang berdampak buat dia. Banyak tukang becak yang tak
senang Harry tetap menarik becak. “Banyak teman sesama tukang
becak mengira saya punya pendapatan yang banyak dari buku ini.
Padahal mereka tidak tahu pemasukan saya ya biasa-biasa saja,”
katanya.
Namun apapun pandangan orang, Harry telah membuka tabir betapa
pentingnya jejaring sosial dan teknologi agar bisa berguna membantu
siapa saja mendapatkan teman, jejaring, persahabatan, cinta dan
pekerjaan. Harry van Yogya telah membuktikannya di tingkat paling
sederhana. q (Indah)
Untuk share dan memberi komentar pada artikel ini,
Klik www.KabariNews.com/?37129
Meski tak ingin berganti profesi, namun Harry ingin terus berkarya
untuk mendapat penghasilan tambahan. Karena penghasilannya
sebagai tukang becak memang sering tak mencukupi untuk
Ingin diumumkan kapan Majalah Kabari tiba?
Kabari akan TWEET ke www.Twitter.com/IkutKabari.
Silakan follow IkutKabari di Twitter
Ingin beli Office Supplies
murah meriah?
Order Online di www.KabariStore.com
KabariNews.com #54, Agt -Sept 2011 | 29