Majalah Digital Kabari Vol: 2 April - Mei 2007 | Page 31

apa saja sesuai dengan minatnya. Di sini tidak ada kelas seperti halnya sekolah formal. Fungsi guru lebih pada membimbing dan mengarahkan minat anak dalam mata pelajaran yang disukainya. Masih banyak sekolah alternatif lain yang memiliki metode pembelajaran masing-masing. Intinya, anak dijadikan sebagai subjek kurikulum, bukan objek. Atau dengan kata lain kurikulum dan sekolah adalah untuk anak, bukan sebaliknya, anak untuk sekolah dan kurikulum! Di sini anak tidak terusmenerus belajar di rumah, namun bisa di mana dan kapan saja asal kondisinya betul-betul menyenangkan dan nyaman seperti suasana di rumah. Maka, jam belajarnya pun sangat lentur, yaitu dari mulai bangun tidur sampai berangkat tidur kembali. Di banyak negara maju, konsep persekolahan di rumah ini sudah mulai banyak dikembangkan. Di Amerika Serikat (AS), misalnya, sudah banyak disusun kurikulum untuk persekolahan di rumah agar sistem pendidikannya memiliki konsep dan visi yang jelas. Tahun ini ada sekitar 1,8 juta anak di AS yang belajar dengan sistem persekolahan di rumah, dan diperkirakan tahun depan akan meningkat sampai sekitar 2,5 juta anak. Bagaimana dengan Indonesia? Sebetulnya sudah lama bangsa kita mengenal konsep home schooling ini, bahkan jauh sebelum sistem pendidikan Barat datang. Tengok saja di pesantren-pesantren misalnya, para kiai, buya, dan tuan guru secara khusus mendidik anakanaknya sendiri. Begitu pula para pendekar, bangsawan, atau seniman tempo dulu. Mereka pun mendidik secara pribadi di rumah atau padepokan masing-masing daripada sekadar mempercayakan kepada orang lain. Tak kurang para tokoh besar semacam KH Agus Salim, Ki Hadjar Dewantara, atau Buya HAMKA juga mengembangkan cara belajar dengan sistem persekolahan di rumah ini. Bukan sekadar agar lulus ujian kemudian memperoleh ijazah, namun agar lebih mencintai dan www.KabariNews.com mengembangkan ilmu itu sendiri. Ada beberapa tantangan bagi penyelenggaraan persekolahan di rumah, yaitu sulitnya memperoleh dukungan atau tempat bertanya; kurangnya tempat sosialisasi dan orangtua harus terampil memfasilitasi proses pembelajaran; serta evaluasi dan penyetaraannya. Namun dengan adanya Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif (Asah-Pena) untuk mengkoordinasi berbagai kegiatan persekolahan di rumah dan pendidikan alternatif di Indonesia, termasuk memberikan pelatihan dan informasi mengenai cara penyelenggaraannya, diharapkan kendala di atas dapat diatasi. Adapun kekuatan persekolahan di rumah ialah lebih memberikan kemandirian dan kreativitas bagi anak, peluang untuk mencapai kompetensi individual secara maksimal, terlindungi dari penyakit sosial seperti narkoba, konsumerisme, pergaulan menyimpang dan tawuran, serta memungkinkan anak siap menghadapi kehidupan nyata. (kiki) kabari: #2, april 2007 | 31