SELEB
Foto: Dok. Kabari
Film berdurasi 13 menit itu
mengangkat kultur dan cerita Nusantara,
yang bercerita tentang dua bocah di Era
Kolonialisme. Seorang bocah Belanda
menjalin persahabatan dengan gadis
Jawa misterius yang tinggal di dalam
hutan. Kenapa berjudul Nyeker?
“Ada satu adegan di mana sang anak
kehilangan sepatu, dan disitulah adegan
yang paling vital,” ungkapnya.
Lanjut Galih, banyak tantangan
yang dia hadapi saat penggarapan film
Nyeker. Selain harus memvisualkan
era 1830-an, ia pun sempat kesulitan
mencari pemain.
“Kami syuting Nyeker di Yogja, saya
dibantu oleh tim yang solid. Awalnya
memang agak sulit mendapatkan
pemeran asli Belanda, tapi akhirnya ada
turis-turis yang kebetulan mau diajak
bekerja sama. Tantangan yang dihadapi
terbayar dengan berhasilnya film Nyeker
ini,” akunya, penuh syukur.
Tidak ingin puas dengan pencapaian
itu saja, dalam waktu dekat Galih tengah
menyiapkan film keduanya berjudul Iqro.
“Saat ini saya sedang mempersiapkan film
kedua, Insha Allah saya akan masukkan
lagi ke festival film. Semoga karya saya
selanjutnya bisa lebih baik lagi,” ungkap
pria yang juga berprofesi sebagai dosen di
Universitas Pelita Harapan Jakarta ini.
Seni adalah bagian dari kehidupannya,
selain hobi melukis, sejak kecil Galih juga
sangat menyukai film. “Saya sangat suka
dengan sejarah Indonesia. Itu juga alasan
kenapa film Nyeker saya angkat dengan
setting dari tahun 1830-an. Padahal
banyak cerita kekinian yang pastinya
disukai, tapi entah jiwa saya suka etnik,
karena menurut saya menarik, bisa belajar
dari situ dan kita dapat tahu sejarah,”
katanya.
Terjun ke dunia film tidak serta merta
dilakoni Galih. Sebelumnya pria murah
senyum ini arsitek muda dan juga dosen.
Lulus S1 di Universitas Indonesia, Galih
melanjutkan S2 di Universitas Pelita
Kabarinews.com
Galih Sakti
Kabari |35