Majalah Digital Kabari Edisi 102 - 2015 | Page 37

SELEB Foto: Dok. Kabari Film berdurasi 13 menit itu mengangkat kultur dan cerita Nusantara, yang bercerita tentang dua bocah di Era Kolonialisme. Seorang bocah Belanda menjalin persahabatan dengan gadis Jawa misterius yang tinggal di dalam hutan. Kenapa berjudul Nyeker? “Ada satu adegan di mana sang anak kehilangan sepatu, dan disitulah adegan yang paling vital,” ungkapnya. Lanjut Galih, banyak tantangan yang dia hadapi saat penggarapan film Nyeker. Selain harus memvisualkan era 1830-an, ia pun sempat kesulitan mencari pemain. “Kami syuting Nyeker di Yogja, saya dibantu oleh tim yang solid. Awalnya memang agak sulit mendapatkan pemeran asli Belanda, tapi akhirnya ada turis-turis yang kebetulan mau diajak bekerja sama. Tantangan yang dihadapi terbayar dengan berhasilnya film Nyeker ini,” akunya, penuh syukur. Tidak ingin puas dengan pencapaian itu saja, dalam waktu dekat Galih tengah menyiapkan film keduanya berjudul Iqro. “Saat ini saya sedang mempersiapkan film kedua, Insha Allah saya akan masukkan lagi ke festival film. Semoga karya saya selanjutnya bisa lebih baik lagi,” ungkap pria yang juga berprofesi sebagai dosen di Universitas Pelita Harapan Jakarta ini. Seni adalah bagian dari kehidupannya, selain hobi melukis, sejak kecil Galih juga sangat menyukai film. “Saya sangat suka dengan sejarah Indonesia. Itu juga alasan kenapa film Nyeker saya angkat dengan setting dari tahun 1830-an. Padahal banyak cerita kekinian yang pastinya disukai, tapi entah jiwa saya suka etnik, karena menurut saya menarik, bisa belajar dari situ dan kita dapat tahu sejarah,” katanya. Terjun ke dunia film tidak serta merta dilakoni Galih. Sebelumnya pria murah senyum ini arsitek muda dan juga dosen. Lulus S1 di Universitas Indonesia, Galih melanjutkan S2 di Universitas Pelita Kabarinews.com Galih Sakti Kabari |35