KISAH
KISAH
LANGKAH KECIL
KISWANTI
CERDASKAN
MASYARAKAT
Terlahir dari keluarga
miskin, Kiswanti tak putus
asa dengan hidupnya.
Hijrah dari Yogyakarta ke
ibukota, ia banting tulang
bekerja dari pembantu
rumah tangga sampai
berjualan jamu keliling,
sambil menggenggam
mimpi kecilnya membangun
perpustakaan. Kini,
mimpi itu telah terwujud
di Desa Lebak Wangi,
Parung. bernama
Warabal. Inspiratif!
Untuk menonton video,
memberi komentar dan
sharing artikel ini, klik
KabariNews.com/77600
32 | Kabari - USA
H
ari menjelang siang. Kelas pagi di
Warung Baca Lebak Wangi (Warabal)
baru saja bubar. Aktivitas agak lowong.
Tampak Kiswanti sedang berbenah sedikit di
kantor kecilnya. “Ya, Anak-anak baru saja selesai
belajar, dan nanti pukul 2 siang ada kelas lagi,” jelas
Kiswanti sambil menyilakan KABARI masuk.
Sejauh mata memandang, terdapat ribuan
buku di ruangan besar. Ya, perpustakaan itulah
mimpi Kiswanti mewujud jadi kenyataan. Adanya
perpustakaan ini pembuktian diri Kiswanti,
walaupun tidak ada sekolah, tetapi jika rajin belajar
dan membaca buku maka tetap akan memiliki
banyak pengetahuan.
Kiswanti, sapaan akrabnya Bude, seorang
muslim yang sadar akan ajaran agamanya, bahwa
siapapun yang berilmu kelak akan diangkat
derajatnya. Kiswanti pun berkisah memiliki
perpustakaan merupakan cita-citanya dari kecil.
Anak pertama dari lima bersaudara pasangan
Tresno Suwarno dan (alm) Tumirah ini, dari kecil
hidup di tengah keluarga miskin di Yogyakarta.
Orang tuanya tak mampu menyekolahkannya
sampai tuntas, karena biaya sekolah sekitar 1970an sebesar Rp.35 dengan SPP Rp10 /bulan.
Sang Ibu mencari nafkah dengan berjualan
jamu, sedangkan bapaknya hanya penarik
becak. Kiswanti tergolong anak yang tidak bisa
diam. Kreatif dan aktif sekali. Ada saja yang
dikerjakannya, Melihat karakter Kiswanti cilik
inilah, maka Bapaknya segera mencari akal
untuk ‘menenangkannya’. Ia memberi Kiswanti
kesibukan daripada mengacaukan barang jualan
ibunya. Sang Bapak membuat gunting-guntingan
huruf, lalu menyusunnya menjadi huruf. Tiap Sabtu
saat stasiun Televisi, kala itu hanya ada TVRI,
menayangkan acara Cerdas Cermat, Kiswanti
pasti menontonnya. Tanpa disadari, kegiatan
ini membuatnya gemar belajar. Kecerdasannya
terasah. Pertanyaan-pertanyaan sederhana di
acara itu dapat dijawabnya. Bapaknya juga sering
mengajaknya mengikuti Dunia Dalam Berita TVRI
tentang kabar dari berbagai daerah. Ini semua
menambah kosa kata Kiswanti.
® California Media International, Inc DBA Kabari
Beranjak besar, tatkala teman-temannya
masuk SD, Kiswanti juga ingin bersekolah.
Tekadnya bersekolah sangat kuat, namun
sayang langkahnya terjegal oleh kesulitan
ekonomi. Orang tua nya tak dapat membayar
uang sekolah. Dan karena itulah, anak-anak
sebayanya tidak mau main dengan Kiswanti.
Ia lebih sering main sendiri di sebuah kuburan
dekat pohon asem di Yogyakarta. Setiap ada
pesta pernikahan dan Khitanan, orang selalu
menaruh makanan sebagai sesajen di sana.
Karena itu makanan baru dan enak,
Kiswanti kecil pun tak urung suka mengambil
makanan sesajian itu, Orang yang kebetulan
lewat melihatnya jadi ketakutan. Tapi Kiswanti
tak peduli, karena makanan itu memang enak
dimakan. Hingga suatu hari lewat seorang
pegawai dari Dinas Pendidikan setempat.
Ia menengok Kiswanti sedang bermain di
kuburan.
Ada yang bilang kalau anak itu aneh.
Sang Bapak dari Dinas Pendidikan itu
bertanya mengapa juga main di kuburan.
Kiswanti menjawab dengan jelas, kalau tak
ada teman yang mau bermain dengannya,
lantaran ia tidak bisa bayar SPP. Bapak itu
balik berkata, “Tidak takut kesambet setan?”
Dengan cerdas Kiswanti menjawab, kalau
setan tidak suka sama dia, sebab temannya
yang sesama manusia saja tidak suka
padanya.
Lantas Bapak itu menyuruhnya bermain
ke perpustakaan. Tetapi apa lacur? Untuk
meminjam buku perpustakaan, lagi-lagi,
harus membayar seperti halnya sekolah.
Kiswanti yang waktu itu baru kelas 4 pun
harus gigit jari kembali. Kiswanti pun disuruh
mencatat buku perpustakaan yang dipinjam
pakai. Kegiatan ini terus dilakukannya sampai
lulus kelas 6 SD pada 1980.
Selepas SD, Kiswanti tidak melanjutkan
ke jenjang lebih tinggi, Dia belajar sendiri saat
anak-anak lain sekolah SMA. Tak sekolah,
tetapi Kiswanti rajin mengoleksi buku-buku
sekolah dan pada 1987, koleksi bukunya
mencapai1.500 buku, dan kebanyakan buku
pelajaran. Suatu saat Kiswanti dibelikan
majalah bobo oleh orang tuanya dan mulai
saat itulah dia berkorespondensi dengan
salah seorang teman di Jakarta.
Dari Pembantu Rumah Tangga
Sampai Jualan Jamu
Maret