Majalah Digital Kabari Edisi 100 - 2015 | Page 32

KISAH KISAH LANGKAH KECIL KISWANTI CERDASKAN MASYARAKAT Terlahir dari keluarga miskin, Kiswanti tak putus asa dengan hidupnya. Hijrah dari Yogyakarta ke ibukota, ia banting tulang bekerja dari pembantu rumah tangga sampai berjualan jamu keliling, sambil menggenggam mimpi kecilnya membangun perpustakaan. Kini, mimpi itu telah terwujud di Desa Lebak Wangi, Parung. bernama Warabal. Inspiratif! Untuk menonton video, memberi komentar dan sharing artikel ini, klik KabariNews.com/77600 32 | Kabari - USA H ari menjelang siang. Kelas pagi di Warung Baca Lebak Wangi (Warabal) baru saja bubar. Aktivitas agak lowong. Tampak Kiswanti sedang berbenah sedikit di kantor kecilnya. “Ya, Anak-anak baru saja selesai belajar, dan nanti pukul 2 siang ada kelas lagi,” jelas Kiswanti sambil menyilakan KABARI masuk. Sejauh mata memandang, terdapat ribuan buku di ruangan besar. Ya, perpustakaan itulah mimpi Kiswanti mewujud jadi kenyataan. Adanya perpustakaan ini pembuktian diri Kiswanti, walaupun tidak ada sekolah, tetapi jika rajin belajar dan membaca buku maka tetap akan memiliki banyak pengetahuan. Kiswanti, sapaan akrabnya Bude, seorang muslim yang sadar akan ajaran agamanya, bahwa siapapun yang berilmu kelak akan diangkat derajatnya. Kiswanti pun berkisah memiliki perpustakaan merupakan cita-citanya dari kecil. Anak pertama dari lima bersaudara pasangan Tresno Suwarno dan (alm) Tumirah ini, dari kecil hidup di tengah keluarga miskin di Yogyakarta. Orang tuanya tak mampu menyekolahkannya sampai tuntas, karena biaya sekolah sekitar 1970an sebesar Rp.35 dengan SPP Rp10 /bulan. Sang Ibu mencari nafkah dengan berjualan jamu, sedangkan bapaknya hanya penarik becak. Kiswanti tergolong anak yang tidak bisa diam. Kreatif dan aktif sekali. Ada saja yang dikerjakannya, Melihat karakter Kiswanti cilik inilah, maka Bapaknya segera mencari akal untuk ‘menenangkannya’. Ia memberi Kiswanti kesibukan daripada mengacaukan barang jualan ibunya. Sang Bapak membuat gunting-guntingan huruf, lalu menyusunnya menjadi huruf. Tiap Sabtu saat stasiun Televisi, kala itu hanya ada TVRI, menayangkan acara Cerdas Cermat, Kiswanti pasti menontonnya. Tanpa disadari, kegiatan ini membuatnya gemar belajar. Kecerdasannya terasah. Pertanyaan-pertanyaan sederhana di acara itu dapat dijawabnya. Bapaknya juga sering mengajaknya mengikuti Dunia Dalam Berita TVRI tentang kabar dari berbagai daerah. Ini semua menambah kosa kata Kiswanti. ® California Media International, Inc DBA Kabari Beranjak besar, tatkala teman-temannya masuk SD, Kiswanti juga ingin bersekolah. Tekadnya bersekolah sangat kuat, namun sayang langkahnya terjegal oleh kesulitan ekonomi. Orang tua nya tak dapat membayar uang sekolah. Dan karena itulah, anak-anak sebayanya tidak mau main dengan Kiswanti. Ia lebih sering main sendiri di sebuah kuburan dekat pohon asem di Yogyakarta. Setiap ada pesta pernikahan dan Khitanan, orang selalu menaruh makanan sebagai sesajen di sana. Karena itu makanan baru dan enak, Kiswanti kecil pun tak urung suka mengambil makanan sesajian itu, Orang yang kebetulan lewat melihatnya jadi ketakutan. Tapi Kiswanti tak peduli, karena makanan itu memang enak dimakan. Hingga suatu hari lewat seorang pegawai dari Dinas Pendidikan setempat. Ia menengok Kiswanti sedang bermain di kuburan. Ada yang bilang kalau anak itu aneh. Sang Bapak dari Dinas Pendidikan itu bertanya mengapa juga main di kuburan. Kiswanti menjawab dengan jelas, kalau tak ada teman yang mau bermain dengannya, lantaran ia tidak bisa bayar SPP. Bapak itu balik berkata, “Tidak takut kesambet setan?” Dengan cerdas Kiswanti menjawab, kalau setan tidak suka sama dia, sebab temannya yang sesama manusia saja tidak suka padanya. Lantas Bapak itu menyuruhnya bermain ke perpustakaan. Tetapi apa lacur? Untuk meminjam buku perpustakaan, lagi-lagi, harus membayar seperti halnya sekolah. Kiswanti yang waktu itu baru kelas 4 pun harus gigit jari kembali. Kiswanti pun disuruh mencatat buku perpustakaan yang dipinjam pakai. Kegiatan ini terus dilakukannya sampai lulus kelas 6 SD pada 1980. Selepas SD, Kiswanti tidak melanjutkan ke jenjang lebih tinggi, Dia belajar sendiri saat anak-anak lain sekolah SMA. Tak sekolah, tetapi Kiswanti rajin mengoleksi buku-buku sekolah dan pada 1987, koleksi bukunya mencapai1.500 buku, dan kebanyakan buku pelajaran. Suatu saat Kiswanti dibelikan majalah bobo oleh orang tuanya dan mulai saat itulah dia berkorespondensi dengan salah seorang teman di Jakarta. Dari Pembantu Rumah Tangga Sampai Jualan Jamu Maret