geoenergi/ sarwono
dan/atau pemanfaatan. Keenam
adalah kewenangan Menteri dalam
penghentian sementara, pencabutan
dan pembatalan izin panas bumi
yang dikeluarkan oleh Gubernur
atau Bupati/Walikota. Ketujuh adalah
Participating Interest (PI) kepada
BUMD atau BUMN. Kedelapan adalah
ketentuan peralihan terkait masa
kontrak, masa berlakunya kuasa,
perpanjangan izin WKP existing.
Dari delapan poin tersebut, ada
beberapa hal yang menjadi perhatian
lebih, terutama bagi para pemain.
Salah satu hal tersebut adalah adanya
kata penambangan dalam definisi
panas bumi di UU 27/2003. Menurut
Kepala Sub Direktorat Pelayanan
dan Bimbingan Usaha Panas Bumi
Direktorat Jenderal Energi Baru
Terbarukan dan Konservasi Energi
(Ditjen EBTKE) Yunus Saefulhak,
kata ‘penambangan’ dalam definisi
panas bumi di UU 27/2003 perlu
dihapus. Kata tersebut membuat
pengembangan panas bumi terbentur
Undang-undang Nomor 41 tahun
1999 tentang kehutanan.
“Definisi panas bumi, dalam UU
27/2003, panas bumi adalah sumber
energi panas yang terkandung dalam
panas uap air dan batuan dalam
mineral yang terkandung, dan gas
lain yang secara genetik tidak dapat
dipisahkan dalam sistem panas
bumi, dan dalam pemanfaatannya
diperlukan penambangan. Nah,
‘penambangan’ ini lah yang nantinya
akan dihapus,” papar Yunus saat
berpresentasi di Seminar Forum
Wartawan Energi dan Sumber Daya
Mineral di Hotel Millenium di kawasan
Kebun Sirih, Jakarta, Kamis (12/12).
Terkait dengan hal tersebut,
Direktur Utama Pertamina Geothermal
Energy (PGE) Rony Gunawan
mengatakan, landasan hukum yang
kuat diperlukan demi kelancaran
p engembangan panas bumi. Namun,
UU 27/2003 saat ini belum mengatur
secara spesifik tentang pemanfaatan
kawasan hutan, dan pengembangan
panas bumi masih terganjal dengan
UU 41/1999. Dalam UU 41/1999,
penggunaan kawasan hutan untuk
kepentingan pembangunan di luar
kegiatan kehutanan hanya dapat
dilakukan di dalam kawasan hutan
produksi dan kawasan hutan lindung.
Padahal, sekitar 68% potensi panas
bumi di Indonesia terdapat di kawasan
EDISI 39 / Tahun Iv / JANUARI 2014
hutan, dan sekitar 21% potensi panas
bumi terdapat di hutan konservasi.
“Apalagi di hutan konservasi.
Padahal menurut UU no.41 tahun
1999 tentang kehutanan, memetik
daun saja sebenarnya sudah dilarang,
apalagi membuka lahan. Hal ini
sebenarnya yang menjadi perhatian
kami, karena tempat kami bekerja
sebagian besar berada di kawasan
hutan konservasi. Saya berharap agar
undang-undang panas bumi dan
kehutanan bisa sinkron di waktu ke
depan,” ujar Rudy.
Masalah lain yang menurut Rudy
juga memberatkan industri panas
bumi nasional adalah soal feed in tariff.
Menurutnya, rendahnya harga jual
energi panas bumi membuat industri
panas bumi menjadi tidak terlihat
seksi.
“Kalau pengembangan panas
bumi menjadi kurang menarik karena
masalah harga feed in tariff, maka
investasi besar-besaran untuk panas
bumi akan terkendala. Apalagi untuk
kegiatan eksplorasi yang risikonya
sama seperti eksplorasi minyak yang
success rationya 50%. Pemboran untuk
panas bumi membutuhkan teknologi
yang tinggi dan biaya yang lebih
mahal. Batuan yang harus dibor saja
sudah lebih keras dan kedalamannya
juga mencapai hingga 3.000 meter,”
papar Rudy.
Namun demikian, feed in tariff tak
serta merta bisa dinaikkan begitu saja.
Menurut Anggota Komisi VII DPR RI
Bobby Adhityo Rizaldi, naiknya feed in
tariff akan menambah beban ke PLN.
“Selama ini PLN membeli listrik dari
panas bumi seharga sembilan sen, tapi
harga jualnya ke masyarakat cuma
enam sampai tujuh sen,” imbuh Bobby.
Menurut Bobby, salah satu solusi
untuk mengatasi hal tersebut adalah
unbundling soal pembelian listrik. PLN
tidak lagi menjadi pembeli tunggal,
dan akan ada pihak swasta yang ikut
membeli listrik panas bumi. Nantinya,
listrik yang dibeli pihak swasta
tersebut akan dijual secara komersial
ke industri. Menurutnya, penjualan
listrik dari pihak swasta ke industri
akan lebih ekonomis dibandingkan
menjualnya untuk rumah-rumah
penduduk.
Namun Bobby mengingatkan,
strategi tersebut bukan berarti
tanpa konsekuensi. Masuknya pihak
swasta sebagai pembeli listrik untuk
Yunus Saefulhak, Kepala Sub Direktorat
Pelayanan dan Bimbingan Usaha Panas Bumi
Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan
dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE)
industri bisa menambah beban biaya
untuk industri, yang pada akhirnya
dikhawatirkan akan mempengaruhi
para buruh. “Kalau kita memerintahkan
PLN untuk tidak menjadi single buyer
panas bumi, bisa-bisa kami didemo
serikat pekerja. Apalagi kalau media
menggambarkan kami sebagai
pendukung neolib. Sebenarnya
jawabannya sudah ada, tinggal
bagaimana posisi politiknya. Oleh
karena itu kami perlu mendengarkan
masukan dari masyarakat,” ujar Bobby.
Apapun caranya, masalah tersebut
harus diatasi, karena feed in tariff
merupakan salah satu hal yang
mempengaruhi kondisi finansial
dari pengembangan energi panas
bumi. Asosiasi Panas Bumi Indonesia
(API) juga menyatakan, masalah
finansial merupakan salah satu
hal yang menjadi masalah dalam
pengembangan panas bumi. Menurut
Wakil Ketua API, Sanusi Satar, proyek
panas bumi tanah air saat ini masih
mengalami kesulitan mencapai
tingkat keekonomian komersial untuk
mendapatkan pendanaan.
Investasi yang besar menjadi
suatu kebutuhan primer bagi
pengembangan panas bumi karena,
selain memerlukan teknologi canggih,
pengelolaan panas bumi memiliki
risiko, yang tentunya memakan
biaya yang tidak sedikit. Menurut
75