Geo Energi januari 2014 | Page 75

geoenergi/ sarwono dan/atau pemanfaatan. Keenam adalah kewenangan Menteri dalam penghentian sementara, pencabutan dan pembatalan izin panas bumi yang dikeluarkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota. Ketujuh adalah Participating Interest (PI) kepada BUMD atau BUMN. Kedelapan adalah ketentuan peralihan terkait masa kontrak, masa berlakunya kuasa, perpanjangan izin WKP existing. Dari delapan poin tersebut, ada beberapa hal yang menjadi perhatian lebih, terutama bagi para pemain. Salah satu hal tersebut adalah adanya kata penambangan dalam definisi panas bumi di UU 27/2003. Menurut Kepala Sub Direktorat Pelayanan dan Bimbingan Usaha Panas Bumi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE) Yunus Saefulhak, kata ‘penambangan’ dalam definisi panas bumi di UU 27/2003 perlu dihapus. Kata tersebut membuat pengembangan panas bumi terbentur Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan. “Definisi panas bumi, dalam UU 27/2003, panas bumi adalah sumber energi panas yang terkandung dalam panas uap air dan batuan dalam mineral yang terkandung, dan gas lain yang secara genetik tidak dapat dipisahkan dalam sistem panas bumi, dan dalam pemanfaatannya diperlukan penambangan. Nah, ‘penambangan’ ini lah yang nantinya akan dihapus,” papar Yunus saat berpresentasi di Seminar Forum Wartawan Energi dan Sumber Daya Mineral di Hotel Millenium di kawasan Kebun Sirih, Jakarta, Kamis (12/12). Terkait dengan hal tersebut, Direktur Utama Pertamina Geothermal Energy (PGE) Rony Gunawan mengatakan, landasan hukum yang kuat diperlukan demi kelancaran p engembangan panas bumi. Namun, UU 27/2003 saat ini belum mengatur secara spesifik tentang pemanfaatan kawasan hutan, dan pengembangan panas bumi masih terganjal dengan UU 41/1999. Dalam UU 41/1999, penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung. Padahal, sekitar 68% potensi panas bumi di Indonesia terdapat di kawasan EDISI 39 / Tahun Iv / JANUARI 2014 hutan, dan sekitar 21% potensi panas bumi terdapat di hutan konservasi. “Apalagi di hutan konservasi. Padahal menurut UU no.41 tahun 1999 tentang kehutanan, memetik daun saja sebenarnya sudah dilarang, apalagi membuka lahan. Hal ini sebenarnya yang menjadi perhatian kami, karena tempat kami bekerja sebagian besar berada di kawasan hutan konservasi. Saya berharap agar undang-undang panas bumi dan kehutanan bisa sinkron di waktu ke depan,” ujar Rudy. Masalah lain yang menurut Rudy juga memberatkan industri panas bumi nasional adalah soal feed in tariff. Menurutnya, rendahnya harga jual energi panas bumi membuat industri panas bumi menjadi tidak terlihat seksi. “Kalau pengembangan panas bumi menjadi kurang menarik karena masalah harga feed in tariff, maka investasi besar-besaran untuk panas bumi akan terkendala. Apalagi untuk kegiatan eksplorasi yang risikonya sama seperti eksplorasi minyak yang success rationya 50%. Pemboran untuk panas bumi membutuhkan teknologi yang tinggi dan biaya yang lebih mahal. Batuan yang harus dibor saja sudah lebih keras dan kedalamannya juga mencapai hingga 3.000 meter,” papar Rudy. Namun demikian, feed in tariff tak serta merta bisa dinaikkan begitu saja. Menurut Anggota Komisi VII DPR RI Bobby Adhityo Rizaldi, naiknya feed in tariff akan menambah beban ke PLN. “Selama ini PLN membeli listrik dari panas bumi seharga sembilan sen, tapi harga jualnya ke masyarakat cuma enam sampai tujuh sen,” imbuh Bobby. Menurut Bobby, salah satu solusi untuk mengatasi hal tersebut adalah unbundling soal pembelian listrik. PLN tidak lagi menjadi pembeli tunggal, dan akan ada pihak swasta yang ikut membeli listrik panas bumi. Nantinya, listrik yang dibeli pihak swasta tersebut akan dijual secara komersial ke industri. Menurutnya, penjualan listrik dari pihak swasta ke industri akan lebih ekonomis dibandingkan menjualnya untuk rumah-rumah penduduk. Namun Bobby mengingatkan, strategi tersebut bukan berarti tanpa konsekuensi. Masuknya pihak swasta sebagai pembeli listrik untuk Yunus Saefulhak, Kepala Sub Direktorat Pelayanan dan Bimbingan Usaha Panas Bumi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE) industri bisa menambah beban biaya untuk industri, yang pada akhirnya dikhawatirkan akan mempengaruhi para buruh. “Kalau kita memerintahkan PLN untuk tidak menjadi single buyer panas bumi, bisa-bisa kami didemo serikat pekerja. Apalagi kalau media menggambarkan kami sebagai pendukung neolib. Sebenarnya jawabannya sudah ada, tinggal bagaimana posisi politiknya. Oleh karena itu kami perlu mendengarkan masukan dari masyarakat,” ujar Bobby. Apapun caranya, masalah tersebut harus diatasi, karena feed in tariff merupakan salah satu hal yang mempengaruhi kondisi finansial dari pengembangan energi panas bumi. Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) juga menyatakan, masalah finansial merupakan salah satu hal yang menjadi masalah dalam pengembangan panas bumi. Menurut Wakil Ketua API, Sanusi Satar, proyek panas bumi tanah air saat ini masih mengalami kesulitan mencapai tingkat keekonomian komersial untuk mendapatkan pendanaan. Investasi yang besar menjadi suatu kebutuhan primer bagi pengembangan panas bumi karena, selain memerlukan teknologi canggih, pengelolaan panas bumi memiliki risiko, yang tentunya memakan biaya yang tidak sedikit. Menurut 75