Geo Energi januari 2014 | Page 51

geo energi/ sarwono bahkan ratusan tahun. “Kerusakan lingkungan yang terjadi di Pulau Kalimantan, saat ini, adalah fakta hidup dan bukti empiris tak terbantahkan dari begitu dasyatnya kerusakan yang diakibatkan oleh pertambangan batu bara,” kata juru kampanye iklim Greenpeace, Arif Fiyanto kepada GEO ENERGI, Senin (23/12). Pembakaran batu bara meninggalkan jejak kerusakan yang tak kalah dasyat. Air dalam jumlah yang besar dalam pengoperasian PLTU mengakibatkan kelangkaan air di banyak tempat. Polutan beracun yang keluar dari cerobong asap PLTU mengancam kesehatan masyarakat dan lingkungan sekitar. Partikel halus debu batu bara adalah penyebab utama penyakit pernapasan akut, merkuri perusak perkembangan saraf anak-anak balita dan janin dalam kandungan ibu hamil yang tinggal di sekitar PLTU. “Dan yang tak kalah penting, pembakaran batu bara di PLTU adalah sumber utama gas rumah kaca penyebab perubahan iklim seperti karbon dioksida, sulfur dioksida, nitrogen dioksida, dan metana yang memperburuk kondisi iklim kita,” katanya. Secara keseluruhan Greenpeace memang belum mengalkulasi polusi sulfur SO2 (sulfur dioksida) di Indonesia. Namun secara umum semua PLTU di Indonesia memang mencemari udara dengan sulfur dioksida. “Semua PLTU Batu bara, menggunakan teknologi seperti apapun, entah itu teknologi sub critical, super critical, extra super critical atau yàng diklaim menggunakan link coal teknologi, semunya mencemari udara dengan sulfur dioksida. Semua tinggal tergantung berapa kadar polusi udara yang ditimbulka n. Tidak ada cerita PLTU Batu bara yang mengklaim bersih dan tidak mencemari udara,” papar Arif. Sebenarnya, lanjut Arif, ada standar baku mutu batu bara yang telah ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), namun sayangnya standar baku yang telah ditetapkan tak mampu mengubah apapun. “Standar yang telah ditetapkan oleh KLH sangat rendah. Gambarannya, standar di KLH itu EDISI 39 / Tahun Iv / JANUARI 2014 Arif Fiyanto, Juru kampanye iklim Greenpeace lebih rendah ketimbang standar yang berlaku di India dan Afrika Selatan,” ungkapnya. Menurutnya, kalori batu bara bermacam-macam, semakin tinggi kalori batu bara, semakin rendah sulfur-nya. Tapi itu juga tidak signifikan dalam pencemaran polusi udara. “Contoh saja PLTU di Batang, Jawa Tengah, yang pembangunannya dapat penolakan dari warga. Kita telah melakukan penelitian, dari hitungan kita kalau PLTU ini jadi dibangun maka akan ada sekitar 660.000 ton sulfur dioksida tiap tahunnya. Sementara emisi karbonnya sendiri ada sekitar 10,8 juta ton, padahal pembangunan PLTU Batang diklaim menggunakan energi terdepan, tekonologi tercanggih,” tukasnya. Tak hanya PLTU Batang, Greenpeace juga pernah melakukan penelitian  di PLTU Cilacap, Jawa Tengah, kurun waktu 20082009. “PLTU Cilacap tercatat merupakan salah satu PLTU yang menggunakan teknologi paling kotor, pencemarannya PLTU Cilacap sangat luar biasa masif. Dalam penelitian tentang dampak-dampak kesehatan terhadap masyarakat di sekitar PLTU, hasil yang ditemukan sangat mengejutkan. Sulfur dioksida bersama polutan-polutan lain mencemari udara disekitar PLTU. Masyarakat menderita masalah pernafasan, mulai dari yang paling ringan seperti Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA), sampai black lank (radang paru-paru hitam),” ungkap Arif. Arif menambahkan, meski black lank umumnya diderita para penambang batu bara underground, namun fakta tersebut tak mampu menepis bahwa polusi sulfur dioksida yang ditimbulkan oleh PLTU sangat merugikan masyarakat sekitar. “Pertambangan batu bara di Indonesia itu semuanya open field, tidak ada penambang batu bara underground. Namun, penelitian ini menunjukkan bahwa paparan dari debu batu bara di Cilacap ini luar biasa bagi masyarakat yang terkena radang paru-paru hitam,” jelasnya. Jejak kerusakan yang ditinggalkan oleh batu bara tidak berhenti di saat pembakarannya. Di ujung rantai kepemilikannya, terdapat pertambangan batu bara yang ditinggalkan setelah dieksploitasi habis, limbah pembakaran batu bara, dan hamparan alam yang rusak tanpa pernah akan bisa kembali seperti sediakala. Pertambangan yang ditinggalkan pasca dieksploitasi habis, meninggalkan segudang masalah untuk lingkungan dan masyarakat sekitarnya. Lubang-lubang raksasa, drainase tambang asam, dan erosi tanah hanya sebagian dari masalah. Hamparan alam yang rusak adalah adalah kondisi permanen yang tak akan pernah pulih , sekeras apapun usaha yang dilakukan untuk mengembalikannya. Limbah pembakaran batu bara sangat beracun, dan membahayakan kesehatan masyarakat, tembaga, cadmium dan arsenic adalah sebagian dari zat toksik yang dihasilkan dari limbah tersebut, yang masing-masing memicu keracunan, gagal ginjal, dan kanker. Setiap rantai dalam siklus pemanfaatan batu bara menyumbangkan kerusakan yang diakibatkan oleh energi kotor ini dengan caranya sendiri. Kerusakan ini nyata dan mematikan. “Harus ada upaya untuk keluar dari ketergantungan energi kotor ini, batu bara yang mematikan,” tukasnya. G 51