geo energi/ sarwono
bahkan ratusan tahun. “Kerusakan
lingkungan yang terjadi di Pulau
Kalimantan, saat ini, adalah fakta
hidup dan bukti empiris tak
terbantahkan dari begitu dasyatnya
kerusakan yang diakibatkan oleh
pertambangan batu bara,” kata juru
kampanye iklim Greenpeace, Arif
Fiyanto kepada GEO ENERGI, Senin
(23/12).
Pembakaran batu bara
meninggalkan jejak kerusakan yang
tak kalah dasyat. Air dalam jumlah
yang besar dalam pengoperasian
PLTU mengakibatkan kelangkaan air
di banyak tempat. Polutan beracun
yang keluar dari cerobong asap PLTU
mengancam kesehatan masyarakat
dan lingkungan sekitar.
Partikel halus debu batu bara
adalah penyebab utama penyakit
pernapasan akut, merkuri perusak
perkembangan saraf anak-anak
balita dan janin dalam kandungan
ibu hamil yang tinggal di sekitar
PLTU. “Dan yang tak kalah penting,
pembakaran batu bara di PLTU adalah
sumber utama gas rumah kaca
penyebab perubahan iklim seperti
karbon dioksida, sulfur dioksida,
nitrogen dioksida, dan metana yang
memperburuk kondisi iklim kita,”
katanya.
Secara keseluruhan Greenpeace
memang belum mengalkulasi
polusi sulfur SO2 (sulfur dioksida)
di Indonesia. Namun secara umum
semua PLTU di Indonesia memang
mencemari udara dengan sulfur
dioksida. “Semua PLTU Batu bara,
menggunakan teknologi seperti
apapun, entah itu teknologi
sub critical, super critical, extra
super critical atau yàng diklaim
menggunakan link coal teknologi,
semunya mencemari udara dengan
sulfur dioksida. Semua tinggal
tergantung berapa kadar polusi udara
yang ditimbulka n. Tidak ada cerita
PLTU Batu bara yang mengklaim
bersih dan tidak mencemari udara,”
papar Arif.
Sebenarnya, lanjut Arif, ada
standar baku mutu batu bara yang
telah ditetapkan oleh Kementerian
Lingkungan Hidup (KLH), namun
sayangnya standar baku yang telah
ditetapkan tak mampu mengubah
apapun. “Standar yang telah
ditetapkan oleh KLH sangat rendah.
Gambarannya, standar di KLH itu
EDISI 39 / Tahun Iv / JANUARI 2014
Arif Fiyanto, Juru kampanye iklim Greenpeace
lebih rendah ketimbang standar yang
berlaku di India dan Afrika Selatan,”
ungkapnya.
Menurutnya, kalori batu bara
bermacam-macam, semakin tinggi
kalori batu bara, semakin rendah
sulfur-nya. Tapi itu juga tidak
signifikan dalam pencemaran polusi
udara. “Contoh saja PLTU di Batang,
Jawa Tengah, yang pembangunannya
dapat penolakan dari warga. Kita telah
melakukan penelitian, dari hitungan
kita kalau PLTU ini jadi dibangun maka
akan ada sekitar 660.000 ton sulfur
dioksida tiap tahunnya. Sementara
emisi karbonnya sendiri ada sekitar
10,8 juta ton, padahal pembangunan
PLTU Batang diklaim menggunakan
energi terdepan, tekonologi
tercanggih,” tukasnya.
Tak hanya PLTU Batang,
Greenpeace juga pernah melakukan
penelitian di PLTU Cilacap, Jawa
Tengah, kurun waktu 20082009. “PLTU Cilacap tercatat
merupakan salah satu PLTU yang
menggunakan teknologi paling kotor,
pencemarannya PLTU Cilacap sangat
luar biasa masif. Dalam penelitian
tentang dampak-dampak kesehatan
terhadap masyarakat di sekitar
PLTU, hasil yang ditemukan sangat
mengejutkan. Sulfur dioksida bersama
polutan-polutan lain mencemari
udara disekitar PLTU. Masyarakat
menderita masalah pernafasan, mulai
dari yang paling ringan seperti Infeksi
Saluran Pernafasan Atas (ISPA), sampai
black lank (radang paru-paru hitam),”
ungkap Arif.
Arif menambahkan, meski
black lank umumnya diderita para
penambang batu bara underground,
namun fakta tersebut tak mampu
menepis bahwa polusi sulfur dioksida
yang ditimbulkan oleh PLTU sangat
merugikan masyarakat sekitar.
“Pertambangan batu bara di Indonesia
itu semuanya open field, tidak ada
penambang batu bara underground.
Namun, penelitian ini menunjukkan
bahwa paparan dari debu batu bara di
Cilacap ini luar biasa bagi masyarakat
yang terkena radang paru-paru hitam,”
jelasnya.
Jejak kerusakan yang ditinggalkan
oleh batu bara tidak berhenti di
saat pembakarannya. Di ujung
rantai kepemilikannya, terdapat
pertambangan batu bara yang
ditinggalkan setelah dieksploitasi
habis, limbah pembakaran batu bara,
dan hamparan alam yang rusak tanpa
pernah akan bisa kembali seperti
sediakala.
Pertambangan yang ditinggalkan
pasca dieksploitasi habis,
meninggalkan segudang masalah
untuk lingkungan dan masyarakat
sekitarnya. Lubang-lubang raksasa,
drainase tambang asam, dan erosi
tanah hanya sebagian dari masalah.
Hamparan alam yang rusak adalah
adalah kondisi permanen yang
tak akan pernah pulih , sekeras
apapun usaha yang dilakukan untuk
mengembalikannya.
Limbah pembakaran batu bara
sangat beracun, dan membahayakan
kesehatan masyarakat, tembaga,
cadmium dan arsenic adalah sebagian
dari zat toksik yang dihasilkan dari
limbah tersebut, yang masing-masing
memicu keracunan, gagal ginjal, dan
kanker.
Setiap rantai dalam siklus
pemanfaatan batu bara
menyumbangkan kerusakan yang
diakibatkan oleh energi kotor ini
dengan caranya sendiri. Kerusakan
ini nyata dan mematikan. “Harus
ada upaya untuk keluar dari
ketergantungan energi kotor ini, batu
bara yang mematikan,” tukasnya. G
51