Geo Energi januari 2014 | Page 46

Sosok Budi Santoso Ketua Working Grup Kebijakan Pertambangan Perhapi dan Ketua Komite Nasional Mineral dan Batu Bara Mari Kawal Kebijakan Minerba! Belakangan, Undang-undang Mineral dan Batu Bara (Minerba) terkait hilirisasi menuai pro dan kontra. Silang sengkarut ini disebabkan oleh banyaknya kebijakan Minerba sebelumnya. Perlu partisipasi aktif dari berbagai organisasi profesi pertambangan untuk mengawal setiap kebijakan Minerba yang ditetapkan. Oleh AMANDA PUSPITA SARI U sianya hampir setengah abad, namun pembawaannya cukup tenang dan bersahaja. Sepintas terlihat pelit bicara, namun ketika ditanya soal kesiapan industri Minerba menyambut ketetapan hilirisasi, barulah ia bicara lantang dan blak-blakan. Sesaat setelah dilantik menjadi Ketua Komite Kebijakan Nasional Mineral dan Batu Bara di Jakarta, (28/11) lalu, punggawa senior Perhapi (Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia) ini meluangkan waktunya untuk berbincang dengan GEO ENERGI terkait rancunya kebijakan demi kebijakan yang diambil pemerintah dalam industri Minerba nasional. “Kita harus jujur dulu, industri Minerba kita mau diarahkan ke mana? Apakah untuk meningkatkan nilai tambah barang tambang dan atmosfir kompetisi nasional, atau hanya untuk meningkatkan pendapatan pemerintah yang export-oriented?,” ujar alumni Teknik Pertambangan ITB ini memulai percakapan. Budi menilai, arah industri Minerba nasional tidak pernah jelas dan jujur. Sehingga, tak mengherankan jika setelah tiga puluh tahun lebih, industri Minerba Indonesia tetap didominasi oleh pemain asing. Untunglah pada tahun 2009 lalu, pemerintah mulai menunjukkan niat baik untuk meningkatkan nilai tambah industri Minerba nasional 46 dengan mengeluarkan kebijakan berupa Undang-Undang No. 4 Tahun 2009. Kebijakan pemerintah yang mengatur hilirisasi barang tambang tersebut, Budi menilai, sebenarnya bertujuan baik. Namun, implementasi dari undang-undang tersebut dapat menghancurkan mekanisme industri Minerba nasional. Menurut Budi, pemberian jangka waktu lima tahun bagi industri Minerba nasional untuk bersiap diri merupakah hal yang tidak realistis. Untuk membangun smelter saja, jangka waktu lima tahun dirasa tidak cukup. “Smelter tidak akan siap (beroperasi) tahun 2014. Membangun smelter butuh waktu enam tahun. Untuk eksplorasi butuh tiga tahun, ditambah realisasi produksi yang berjalan memakan waktu tiga tahun. Artinya butuh waktu sembilan tahun,” terang Budi yang saat ini aktif sebagai Ketua Divisi Working Grup Kebijakan Pertambangan di Perhapi. Apalagi, lanjut Budi, setelah jangka waktu lima tahun yang dirasa singkat tersebut, pemerintah akan menetapkan larangan ekspor mineral mentah. Kebijakan tersebut sejatinya bertentangan dengan kebijakan pemerintah beberapa tahun silam yang mengeluarkan banyak Izin Usaha Pertambangan (IUP) maupun Kontrak Kerja (KK). “Ekspor merupakan hak pengusaha. Kalau pemerintah mau mengerem ekspor, harusnya pemberian IUP harus di-rem juga. Saat ini kondisinya, pemegang IUP banyak dan mereka terancam tak bisa mengekspor,” tegas Budi juga menjabat sebagai President Direktur sebuah perusahaan konsultasi pertambangan, PT SRK Consulting Indonesia. Alhasil, kebijakan yang tidak realistis tersebut membuat para pelaku usaha pertambangan panik dan akhirnya berbondong-bondong berencana membangun smelter, tanpa memberikan komitmen yang kuat dan pasti. “Pemerintah harusnya memastikan, sudah sesuaikah smelter yang mereka bangun. Harus dicek apakah cadangan yang ada cukup, umur tambang sudah siap, dan eksplorasi yang dilakukan sudah benar. Karena smelter punya daya pengembalian 5-15 tahun mendatang,” terang pria berdarah Madura ini. Budi menilai, ketimpangan kebijakan tersebut tidak bisa diselesaikan dalam waktu singkat, meskipun pemerintah telah memprediksi hal ini dan mengeluarkan kebijakan Clear and Clean (CnC) untuk menentukan IUP yang laik beroperasi pada tahu