Panggilan Membenahi
Ketahanan Energi
E
ndriartono meyakini bahwa selama sumber energi
kita tetap bergantung pada BBM, maka kita akan
terus mengimpor. Itu artinya, pemerintah wajib
membelanjakan devisa negara dalam jumlah yang
cukup besar. Sementara harga BBM juga terus
melambung, Pilihan melakukan subsidi terhadap BBM hanya
akan mengurangi kemampuan APBN kita untuk tujuan
pembangunan. Saat ini, impor minyak mentah (crude) dan
BBM Indonesia berkisar 700-800 barel per hari dengan harga
mencapai 100 USD per barel. Ini artinya kita menghamburkan
devisa sedikitnya 70-80 juta USD sehari, sedangkan subsidi BBM
yang digelontorkan pemerintah menyentuh angka Rp 200-300
triliun per tahunnya.
“Ditengah masih banyak rakyat kita yang hidup miskin, kita
hamburkan uang dalam jumlah yang sekian besar hanya karena
ketergantungan kita pada BBM. Sangat Ironis,” katanya.
Menurut Endriartono, kebijakan mengimpor BBM
sejatinya bisa diakhiri dengan cara menghilangkan
ketergantungan energi kita pada penggunaan BBM.
Salah satunya melalui konversi ke gas dan batubara.
Sebagai pengekspor batubara terbesar di dunia
dan juga pengeksport gas alam, apa salahnya jika
batubara dan gas tersebut dioptimalkan untuk
penggunaannya di dalam negeri saja? “Contoh,
semua pembangkit listrik yang sudah terbangun
wajib mengkonversi bahan bakarnya dengan
batubara atau gas,” katanya. Apalagi, sambung
Pak Tarto, pencemaran lingkungan oleh
penggunaan batubara saat ini telah bisa
diatasi karena majunya inovasi teknologi.
“Sudah ada alat yang bisa membersihkan
sisa pembakaran batu bara sehingga tidak
lagi mencemari udara. Memang costly,
tetapi secara keseluruhan tetap lebih
murah ketimbang menggunakan solar,”
tambah dia.
Di luar batubara, Endriartono juga
menggarisbawahi pentingnya optimalisasi
penggunaan bahan bakar lainnya diluar
minyak bumi. Saat ini, pemanfaatan gas sering
menemui kendala karena berbagai hal, terutama
persoalan minimnya infrastruktur. Akibatnya,
konversi BBM ke gas belum bisa dijalankan
sepenuhnya. Namun, Endriartono berpendapat,
mahalnya pembangunan infrastruktur gas bukanlah
alasan untuk kita terus-menerus mengimpor BBM. “Saya
tahu membangun infrastruktur gas itu memang mahal.
Tetapi kembali lagi, kalau dibandingkan dengan subsidi
BBM yang harus ditanggung negara setiap tahunnya,
biaya pembangunan infrastruktur gas menjadi tidak
seberapa,” tegasnya.
EDISI 39 / Tahun Iv / JANUARI 2014
41