Geo Energi januari 2014 | Page 41

Panggilan Membenahi Ketahanan Energi E ndriartono meyakini bahwa selama sumber energi kita tetap bergantung pada BBM, maka kita akan terus mengimpor. Itu artinya, pemerintah wajib membelanjakan devisa negara dalam jumlah yang cukup besar. Sementara harga BBM juga terus melambung, Pilihan melakukan subsidi terhadap BBM hanya akan mengurangi kemampuan APBN kita untuk tujuan pembangunan. Saat ini, impor minyak mentah (crude) dan BBM Indonesia berkisar 700-800 barel per hari dengan harga mencapai 100 USD per barel. Ini artinya kita menghamburkan devisa sedikitnya 70-80 juta USD sehari, sedangkan subsidi BBM yang digelontorkan pemerintah menyentuh angka Rp 200-300 triliun per tahunnya. “Ditengah masih banyak rakyat kita yang hidup miskin, kita hamburkan uang dalam jumlah yang sekian besar hanya karena ketergantungan kita pada BBM. Sangat Ironis,” katanya. Menurut Endriartono, kebijakan mengimpor BBM sejatinya bisa diakhiri dengan cara menghilangkan ketergantungan energi kita pada penggunaan BBM. Salah satunya melalui konversi ke gas dan batubara. Sebagai pengekspor batubara terbesar di dunia dan juga pengeksport gas alam, apa salahnya jika batubara dan gas tersebut dioptimalkan untuk penggunaannya di dalam negeri saja? “Contoh, semua pembangkit listrik yang sudah terbangun wajib mengkonversi bahan bakarnya dengan batubara atau gas,” katanya. Apalagi, sambung Pak Tarto, pencemaran lingkungan oleh penggunaan batubara saat ini telah bisa diatasi karena majunya inovasi teknologi. “Sudah ada alat yang bisa membersihkan sisa pembakaran batu bara sehingga tidak lagi mencemari udara. Memang costly, tetapi secara keseluruhan tetap lebih murah ketimbang menggunakan solar,” tambah dia. Di luar batubara, Endriartono juga menggarisbawahi pentingnya optimalisasi penggunaan bahan bakar lainnya diluar minyak bumi. Saat ini, pemanfaatan gas sering menemui kendala karena berbagai hal, terutama persoalan minimnya infrastruktur. Akibatnya, konversi BBM ke gas belum bisa dijalankan sepenuhnya. Namun, Endriartono berpendapat, mahalnya pembangunan infrastruktur gas bukanlah alasan untuk kita terus-menerus mengimpor BBM. “Saya tahu membangun infrastruktur gas itu memang mahal. Tetapi kembali lagi, kalau dibandingkan dengan subsidi BBM yang harus ditanggung negara setiap tahunnya, biaya pembangunan infrastruktur gas menjadi tidak seberapa,” tegasnya. EDISI 39 / Tahun Iv / JANUARI 2014 41