Poltak Sitanggang
atau setara dengan 1,1% PDB. Untuk
memberi gambaran, pelarangan ekspor
bijih mineral diperkirakan mengurangi
ekspor Indonesia sebesar US$5 miliar
setiap tahunnya,” katanya.
Bakal Banyak Yang Gulung Tikar
Berdasar studi yang telah dilakukan
pihak Apemindo dan City Research
disebut, bila pemerintahan SBY tetap
memaksakan menerapkan larangan
bijih mineral ekspor, maka keputusan
tersebut bakal berdampak pada kian
terpuruknya ekonomi dalam negeri.
“Yang diuntungkan dengan keluarnya
regulasi itu adalah negara pengekspor
bijih mineral lain,” tukasnya.
Tak cuma terpuruknya ekonomi,
Aspemindo juga hakul yakin kalau
regulasi minerba bakal berbuntut pada
perusahaan tambang nasional dan
petambang kecil yang gulung tikar
lantaran tidak memiliki cukup modal
untuk membiayai pembangunan
smelter. “Mereka nggak ada yang punya
duit. Pembangunan smelter cuma bisa
dilakukan investor asing dan tidak
melibatkan pengusaha nasional. Dan
yang lebih buruk lagi, petambang
nasional pasti akan menjual sumber
dayanya dengan harga murah kepada
para pemilik smelter (investor asing).
Jadi, tindakan Pemerintahan SBY
melarang ekspor bijih mineral sama
artinya dengan menjual kekayaan alam
Indonesia dengan harga murah kepada
investor asing sebagaimana terjadi
dalam kontrak karya,” kata Poltak.
EDISI 39 / Tahun Iv / JANUARI 2014
Untuk itu, kata Poltak, pihaknya
mengajukan empat tuntutan kepada
Pemerintahan SBY. Pertama, memaksa
semua Kontrak Karya (KK) disesuaikan
dengan ketentuan Undang-Undang
Minerba Nomor 4 Tahun 2009. Kedua,
melaksanakan Pasal 170 UndangUndang Nomor 4 Tahun 2009,
yakni “Pemegang Kontrak Karya
sebagaimana dimaksud dalam pasal
169 yang sudah berproduksi wajib
melakukan pemurnian sebagaimana
dimaksud dalam pasal 103 ayat
(1) selambat-lambatnya 5 (lima)
tahun sejak Undang-Undang ini
diundangkan.”
Ketiga, memfasilitasi perusahaan
izin lokasi dan izin-izin lainnya, serta
member insentif berupa pembebasan
pajak bagi para pengusaha nasional
yang mebangun smelter. Keempat,
meminta Kementerian ESDM konsisten
menerapkan Undang-Undang Minerba
Nomor 4 Tahun 2009 Pasal 83 huruf b
“Luas 1 (satu) WIUPK tahap kegiatan
operasi produksi pertambangan
mineral logam diberikan dengan luas
sebanyak 25.000 (dua puluh lima ribu)
hektare.”
Poltak mengatakan, Apemindo
bakal melayangkan judicial review
jika pelarangan ekspor bijih mineral
diberlakukan mulai 12 Januari 2014.
“Judicial review kita ajukan bukan
karena Apemindo melawan UU
Minerba, kita hanya meminta kepada
pemerintah agar izinkan ekspor
mineral mentah pada 2014 tetap
diperbolehkan,” katanya.
Pada bagian lain, Direktur Utama PT
International Minerals Development,
Habe Hanafi meminta kepada
pemerintah untuk re- scheduling
UU Minerba ini. “UU ini silahkan
jalan, hanya saja pemerintah harus
re- scheduling dulu, kalau sekarang
dikeluarkan waktunya kurang pas.
Tapi sebagai pelaku usaha, saya siap
menjalankan undang-undang ini,”
katanya.
Menurut Habe regulasi ini terlalu
digenaralisir, mestinya pemerintah
bisa klasifikasikan aturan soal mineral.
“Misalnya mineral a UU-nya dikeluarkan
tahun ini, UU mineral b dikeluarkan
dua tahun berikutnya, atau mineral c
samasekali tidak perlu ada UU-nya. Tapi
yang terjadi tidak demikian, semua
aturan dibuat secara general, kenapa
demikian? Ya karena mereka nggak
ngerti,” tukas Habe.
Mineral punya ciri khas dan kendala
masing-masing. Habe mencontohkan,
misalnya ada mineral nikel yang
terhampar dalam suatu area yang
cukup besar, dirinya yakin para
pengusaha pasti tak ragu berinvestasi
triliunan rupiah (membangun smelter)
di tempat tersebut. “ Kan kita bisa
hitung risikonya. Tapi kalau mineralnya
cuma sepotong-sepotong, terus kita
bangun smelter dengan biaya triliunan
disana, gimana risiko yang mau
diambil? Kan pastinya rugi,” kata Habe.
“Untuk itu, mineral yang tidak
penting sebaiknya diekspor saja.
Contoh saja pasir besi, misalnya kita
research di satu spot daerah, ternyata
hasilnya hanya sedikit, mau tidak mau
kita harus research di spot lainnya,
begitu seterusnya. Padahal pengusaha
sudah cukup banyak berinvestasi. Jadi
itulah pentingnya klasifikasi mineral,”
tukas Habe.
CEO Freeport Indonesia Rozik B
Soetjipto mengaku pasrah dengan
pemberlakukan UU Minerba tersebut.
Dia juga mengakui pihaknya
belum menetapkan langkah pasti
terkait implementasi regulasi
yang mewajibkan pemurnian dan
pemrosesan bahan mentah didalam
negeri itu, walaupun memiliki beberapa
opsi.
Opsi pertama yakni menurunkan
produksi sesuai dengan produk yang
mampu diserap smelter, hingga
menjadi hanya 40% dari total produk
saat ini. Opsi kedua yakni dengan
menggandeng pihak ketiga untuk
membangun smelter. Dalam hal ini
Freeport sudah bekerjasama dengan
tiga perusahaan dan tengah melakukan
studi kelayakan (FS) tanpa merinci lebih
lanjut.
“Soal yang bangun (smelter)
Freeport sendiri, pihak ketiga atau
kerjasama dengan pihak ketiga, itu
hal-hal yang akan dilihat dari feasibility
studies. Yang paling signifikan
(dampaknya) deadline tanggal 12
Januari sehingga kita harus turunkan
produksi,” jelas dia.
Untuk itu, dia memohon pada
pemerintah supaya ada usaha untuk
meminimalkan dampak negatif
penurunan produksi karena juga
akan berdampak pada karyawan.
Dalam hal ini Freeport mengharapkan
pemerintah kembali mengulur
waktu pemberlakuan UU Minerba
tersebut dalam mempersiapkan untuk
33