Geo Energi januari 2014 | Page 33

Poltak Sitanggang atau setara dengan 1,1% PDB. Untuk memberi gambaran, pelarangan ekspor bijih mineral diperkirakan mengurangi ekspor Indonesia sebesar US$5 miliar setiap tahunnya,” katanya. Bakal Banyak Yang Gulung Tikar  Berdasar studi yang telah dilakukan pihak Apemindo dan City Research disebut, bila pemerintahan SBY tetap memaksakan menerapkan larangan bijih mineral ekspor, maka keputusan tersebut bakal berdampak pada kian terpuruknya ekonomi dalam negeri. “Yang diuntungkan dengan keluarnya regulasi itu adalah negara pengekspor bijih mineral lain,” tukasnya.  Tak cuma terpuruknya ekonomi, Aspemindo juga hakul yakin kalau regulasi minerba bakal berbuntut pada perusahaan tambang nasional dan petambang kecil yang gulung tikar lantaran tidak memiliki cukup modal untuk membiayai pembangunan smelter. “Mereka nggak ada yang punya duit. Pembangunan smelter cuma bisa dilakukan investor asing dan tidak melibatkan pengusaha nasional. Dan yang lebih buruk lagi, petambang nasional pasti akan menjual sumber dayanya dengan harga murah kepada para pemilik smelter (investor asing). Jadi, tindakan Pemerintahan SBY melarang ekspor bijih mineral sama artinya dengan menjual kekayaan alam Indonesia dengan harga murah kepada investor asing sebagaimana terjadi dalam kontrak karya,” kata Poltak. EDISI 39 / Tahun Iv / JANUARI 2014 Untuk itu, kata Poltak, pihaknya mengajukan empat tuntutan kepada Pemerintahan SBY. Pertama, memaksa semua Kontrak Karya (KK) disesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang Minerba Nomor 4 Tahun 2009.  Kedua, melaksanakan Pasal 170 UndangUndang Nomor 4 Tahun 2009, yakni “Pemegang Kontrak Karya sebagaimana dimaksud dalam pasal 169 yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian sebagaimana dimaksud dalam pasal 103 ayat (1) selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.” Ketiga, memfasilitasi perusahaan izin lokasi dan izin-izin lainnya, serta member insentif berupa pembebasan pajak bagi para pengusaha nasional yang mebangun smelter.  Keempat, meminta Kementerian ESDM konsisten menerapkan Undang-Undang Minerba Nomor 4 Tahun 2009 Pasal 83 huruf b “Luas 1 (satu) WIUPK tahap kegiatan operasi produksi pertambangan mineral logam diberikan dengan luas sebanyak 25.000 (dua puluh lima ribu) hektare.” Poltak mengatakan, Apemindo bakal melayangkan judicial review jika pelarangan ekspor bijih mineral diberlakukan mulai 12 Januari 2014. “Judicial review kita ajukan bukan karena Apemindo melawan UU Minerba, kita hanya meminta kepada pemerintah agar izinkan ekspor mineral mentah pada 2014 tetap diperbolehkan,” katanya. Pada bagian lain, Direktur Utama PT International Minerals Development, Habe Hanafi meminta kepada pemerintah untuk re- scheduling UU Minerba ini. “UU ini silahkan jalan, hanya saja pemerintah harus re- scheduling dulu, kalau sekarang dikeluarkan waktunya kurang pas. Tapi sebagai pelaku usaha, saya siap menjalankan undang-undang ini,” katanya. Menurut Habe regulasi ini terlalu digenaralisir, mestinya pemerintah bisa klasifikasikan aturan soal mineral. “Misalnya mineral a UU-nya dikeluarkan tahun ini, UU mineral b dikeluarkan dua tahun berikutnya, atau mineral c samasekali tidak perlu ada UU-nya. Tapi yang terjadi tidak demikian, semua aturan dibuat secara general, kenapa demikian? Ya karena mereka nggak ngerti,” tukas Habe. Mineral punya ciri khas dan kendala masing-masing. Habe mencontohkan, misalnya ada mineral nikel yang terhampar dalam suatu area yang cukup besar, dirinya yakin para pengusaha pasti tak ragu berinvestasi triliunan rupiah (membangun smelter) di tempat tersebut. “ Kan kita bisa hitung risikonya. Tapi kalau mineralnya cuma sepotong-sepotong, terus kita bangun smelter dengan biaya triliunan disana, gimana risiko yang mau diambil? Kan pastinya rugi,” kata Habe. “Untuk itu, mineral yang tidak penting sebaiknya diekspor saja. Contoh saja pasir besi, misalnya kita research di satu spot daerah, ternyata hasilnya hanya sedikit, mau tidak mau kita harus research di spot lainnya, begitu seterusnya. Padahal pengusaha sudah cukup banyak berinvestasi. Jadi itulah pentingnya klasifikasi mineral,” tukas Habe. CEO Freeport Indonesia Rozik B Soetjipto mengaku pasrah dengan pemberlakukan UU Minerba tersebut. Dia juga mengakui pihaknya belum menetapkan langkah pasti terkait implementasi regulasi yang mewajibkan pemurnian dan pemrosesan bahan mentah didalam negeri itu, walaupun memiliki beberapa opsi. Opsi pertama yakni menurunkan produksi sesuai dengan produk yang mampu diserap smelter, hingga menjadi hanya 40% dari total produk saat ini. Opsi kedua yakni dengan menggandeng pihak ketiga untuk membangun smelter. Dalam hal ini Freeport sudah bekerjasama dengan tiga perusahaan dan tengah melakukan studi kelayakan (FS) tanpa merinci lebih lanjut. “Soal yang bangun (smelter) Freeport sendiri, pihak ketiga atau kerjasama dengan pihak ketiga, itu hal-hal yang akan dilihat dari feasibility studies. Yang paling signifikan (dampaknya) deadline tanggal 12 Januari sehingga kita harus turunkan produksi,” jelas dia. Untuk itu, dia memohon pada pemerintah supaya ada usaha untuk meminimalkan dampak negatif penurunan produksi karena juga akan berdampak pada karyawan. Dalam hal ini Freeport mengharapkan pemerintah kembali mengulur waktu pemberlakuan UU Minerba tersebut dalam mempersiapkan untuk 33