Geo Energi januari 2014 | Page 23

istimewa Pertamina satunya korupsi yang akut. Undang-Undang No. 8 tahun 1971 yang mengukuhkan Perusahaan Negara (PN) Pertamina menjadi PT Pertamina, turut mendorong BUMN minyak dan gas (migas) tersebut menjadi satu-satunya BUMN yang mengelola sektor migas secara nasional. Dan, dampak negatif pun muncul. Di masa awal pemberlakuan UU 1971, Pertamina menjadi perusahaan yang sangat disegani, termasuk di dunia. Dari sisi pendapatan, bila pada tahun 1969/1970 penerimaan migas dari Pertamina masih Rp 66 triliun atau sekitar 27% APBN, pada 1981/1982 melonjak menjadi Rp 8.628 triliun (71% APBN). Amanat kekuasaan yang besar dari UU No. 8 Tahun 1971, memunculkan sistem kontrol yang lemah terhadap Pertamina. Disokong oleh keputusan pemerintah dan DPR di era 1970-an yang menetapkan penerimaan migas diputuskan untuk digunakan sebagai sumber dana non migas, penghasilan besar-besaran dari Pertamina kemudian menguap tak jelas. Bahkan Pertamina terlilit utang super jumbo. Sungguh ironis, Pertamina yang telah menghasilkan banyak pemasukan negara tidak memiliki banyak dana untuk keperluan investasi dan pengembangan bisnis. Lebih ironis sebab untuk keperluan investasi ditutup dengan utang jangka pendek dengan bunga besar. Hal itu sangat kental terlihat sebelum 1976 ketika Pertamina dipimpin oleh Ibnu Sutowo, mantan petinggi militer yang diangkat oleh Soeharto menjadi Dirut Pertamina. Puncak dari ini semua terjadi pada 1974. Dirut Pertamina Ibnu Sutowo ketika itu banyak meminjam dana kepada bank-bank Amerika. Krisis keuangan Pertamina mulai mencuat saat diketahui Pertamina tak mampu melunasi utang jangka pendek US$ 40 juta. Rahasia dapur Pertamina itu terkuak ke publik setelah konsorsium Bank AS mengumumkannya pada 18 Februari 1975. Krisis keuangan Pertamina benarbenar mengancam. Pada 10 Maret 1975, kembali terkuak Pertamina gagal bayar kepada konsorsium Bank Kanada senilai US$ 65 juta. Sehingga pada 14 Maret 1975, Bank Indonesia mengeluarkan dana US$ 650 juta sebagai kredit kepada Pertamina untuk melunasi utang-utang EDISI 39 / Tahun Iv / JANUARI 2014 Mahfud MD, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi jangka pendeknya. Total utang jangka pendek Pertamina ternyata sungguh fantastis, mencapai US$ 10,5 miliar atau 30% Produk Domestik Bruto (PDB) saat itu. Pada 20 Mei 1975, Menteri Pertambangan dan Energi Mohammad Sadli mengumumkan secara rinci kemana saja uang tersebut mengalir. Abra kadabra... Sebagian dari proyek yang didukung dana Pertamina tersebut tidak ekonomis dan tidak ada hubungannya dengan fungsi Pertamina. Pengamat Militer dari Universitas Australia Dr. Harold Crouch dalam berbagai referensi bahkan mensinyalir Pertamina jadi sapi perah para elit birokrasi ketika itu. Contohnya, sebagian besar keuntungan minyak tidak diserahkan kepada pemerintah, melainkan digunakan untuk kepentingan Angkatan Bersenjata, untuk bagian lain pemerintahan, diversifikasi Pertamina, dan untuk keperluan pribadi Ibnu Sutowo. Ibnu Sutomo, dalam buku biografinya berjudul “Saatnya Saya Bercerita”, yang ditulis Ramadhan KH mengakui bahwa Pertamina pernah mengalami krisis pada tahun 1974. Pun, ia mengamini bahwa uang dari Pertamina dijadikan bisnis di luar Pertamina. Sutowo menuturkan, pada 1974 Pertamina membuat perjanjian baru mengenai pinjaman (loan) jangka panjang selama 20 tahun. Jumlah pinjaman seluruhnya mencapai US$ 1,7 miliar. “Saya menganggap pinjaman itu sudah safe (aman). Bahkan kami sudah teken perjanjian itu. Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa kami mesti mengambil uang itu sekaligus. Tetapi kami belum ambil pinjaman itu karena belum waktunya dan ada peraturanperaturan yang kami mesti bereskan dulu,” kata Sutowo. Saat itu, kata Sutowo, pihaknya sudah harus mulai mengerjaan beberapa proyek, antara lain Krakatau Steel, Otorita Batam, dan lain-lain. Sedang uang dari pemerintah itu tidak ada. “Maka dia memutuskan mengambil hutang jangka pendek (short term loan) untuk menjembatani hutang jangka panjang yang belum keluar, tanpa menempuh prosedur yang terlalu njelimet. Proyekproyek pun jalan dengan memakai hutang jangka pendek Pertamina. “Eh, tiba-tiba saya mendapat kabar, bahwa hutang jangka panjang yang perjanjiannya sudah kami teken itu tidak bisa cair. Maka kacaulah kami,” kata Sutowo. Apapun dalihnya, sejarah tak akan berulang. Utang miliaran dolar Amerika di era Ibnu Sutowo adalah cerita kelam Pertamina. Cerita ini kini menjadi konsumsi hampir seluruh bangsa Indonesia. Ketua Komisi VII DPR RI Bidang Energi Sutan Bhatoegana menyatakan, sudah bukan rahasia umum bila Pertamina memang kerap menjadi sapi 23