Pertamina
istimewa
“Saya curiga,
jangan-jangan ini
berkaitan dengan
Pemilu 2014 nanti.
Ada apa di balik
semua ini? Ini
sangat aneh”
Ari Soemarno, mantan Direktur
Utama Pertamina
istimewa
Ari Soemarno, Mantan Direktur Utama
Pertamina
Belum besarnya Pertamina, juga
bisa ditilik dari sisi penguasaan dan
produksi migasnya. Saat ini, Pertamina
menguasai 47% ladang migas Indonesia.
Namun, hasilnya belum optimal lantaran
masih banyak lapangan migas yang
menganggur. Akibatnya, produksi migas
Pertamina hanya menduduki posisi
nomor 3 di bawah Total E&P Indonesie
dan Chevron Pacific Indonesia.
Sesuai estimasi lifting migas
pemerintah pada tahun ini, Total
E&P Indonesie dengan wilayah kerja
Mahakam dan Tengah menjadi produsen
terbesar dengan produksi 382,2 ribu
barel setara minyak per hari. Lalu
Chevron Pacific Indonesia di wilayah
kerja Rokan dan Siak dengan estimasi
produksi migas 335 ribu barel setara
minyak per hari. Sementara Pertamina EP
dengan wilayah kerja seluruh Indonesia
estimasi produksi migas sebesar 290,3
ribu barel setara minyak per hari.
Untuk mengembangkan blokblok migas lepas pantai (offshore)
di Indonesia, menurut Darmawan,
setidaknya butuh total dana US$ 20
miliar atau mendekati Rp 200 triliun.
Menurut laporan keuangan Pertamina,
total aset Pertamina hingga 2012 sebesar
US$ 40,88 miliar, atau sekitar Rp 388,36
triliun pada kurs Rp 9.500 per US$.
Jadi, untuk mengembangkan
blok-blok migas baru di Indonesia
saja membutuhkan modal separuh
dari aset Pertamina. Kemampuan
belanja modal dan investasi Pertamina
EDISI 39 / Tahun Iv / JANUARI 2014
juga sangat minim. Pertamina hanya
menganggarkan belanja modal US$
10 miliar untuk investasi 5-10 tahun ke
depan, bandingkan dengan Petronas
dengan belanja modal US$ 96 miliar.
Pada tahun 2012, menurut
laporan keuangan, investasi jangka
panjang Pertamina untuk keperluan
pengembangan blok-blok migas baru
hanya sebanyak US$ 103,413 juta, atau
sekitar Rp 984,4 miliar alias tidak ada Rp
1 triliun. Kecil sekali.
Indonesia, menurut Darmawan,
saat ini memiliki 138 cekungan minyak.
Dari jumlah tersebut, baru 38 cekungan
yang sudah dieksplorasi. Sembilan puluh
cekungan lagi belum dieksplorasi.
“Potensinya kan besar sekali
sebenarnya. Tapi kita belum mengetahui
berapa potensinya. Sekarang hanya 3,7
miliar barel. Dan ini potensi yang ke sini
katanya ada yang 100 billion barrel oil
equivalent. Tapi nggak ada yang tahu,
sehingga di sini perlu adanya eksplorasi,”
kata Darmawan.
Akibat masih dominannya unsur
ketidakpastian dalam eksplorasi,
risikonya sangat besar. Investasi gendut
bisa saja menguap tak berbekas.
Darmawan menghitung, total kerugian
dana eksplorasi minyak yang menguap
sekitar US$ 2 miliar dalam dua tahun
terakhir. Itu sebabnya, unsur kehatihatian dan unsur spekulasi dalam
eksplorasi minyak sangat beda tipis.
Jangankan Pertamina, dana
APBN yang saat ini berkisar Rp 1.400
triliun hingga Rp 1.500 triliun saja,
belum sanggup untuk membiayai
pengembangan blok-blok migas baru.
“Jadi, intinya Pertamina butuh kapital
besar. Kedua, teknologinya itu sangat
advanced, ketiga risikonya sangat besar,”
kata Darmawan.
Sungguh sangat disayangkan bila
Pertamina memaksakan ekspansi ke luar
negeri, tapi kemampuan masih sangat
minim. Jangan sampai terjadi, pepatah
lama yang menyatakan besar pasak
daripada tiang.
Menjadi kecurigaan banyak
pihak, bila kondisi keuangan belum
memungkinkan, tapi Pertamina tetap
memaksa melakukan ekspansi besarbesaran. Apalagi dilakukan dalam
masa yang sangat pendek, hanya
dalam sepekan melakukan akuisisi
lima blok besar senilai puluhan triliun
rupiah. Sungguh tambah naif, bila itu
dilakukan menjelang Pemilihan Umum
2014. Asumsi banyak pihak yang
mengkhawatirkan ada sesuatu di balik
semua itu, bisa ada benarnya.
Pertanyaannya, buat apa, atau
persisnya buat siapa, aksi-aksi korporasi
Pertamina menjelang hajatan
pesta demokrasi Indonesia yang
membutuhkan modal tidak sedikit itu?
(Lihat Sapi Perah Dari Masa ke Masa)
Lalu, apa hubungan Hatta Rajasa
yang tampak begitu agresif mendukung
Pertamina ekspansi? Bila ditelusuri lebih
jauh pernyataan-pernyataan Hatta soal
Pertamina, Ketua Umum Partai Amanat
Nasional (PAN) ini tampak begitu
antusias membela Pertamina. Entah
apa motif utamanya. Di pengelolaan
Blok Mahakam yang kontroversial itu,
misalnya, Hatta begitu gigih mendukung
Pertamina. Hatta Rajasa menyebut
pengelolaan blok Mahakam lebih ideal
jika dilakukan langsung oleh Pertamina
sebagai operator.
Dalam hal ekspansi ke luar negeri,
Hatta tampak juga mengawal Pertamina.
Setelah akuisisi Blok Irak dan Algeria,
Hatta memberi sinyal Pertamina akan
melakukan eksplorasi minyak di wilayah
Kazakstan.
Global Future Institute (GFI), melalui
ulasan berkala The Global Review
“Hatta Rajasa and the Mystery of the
Singapore Oil Mafia”, mengutip laporan
The Intelligence Magazine (Majalah
Intelijen), edisi 5-18 November 2009,
mengungkapkan fakta menarik.
Menurut GFI, Hatta Rajasa, yang
sangat berpengaruh dalam menyusun
Kabinet Indonesia Bersatu, disinyalir
memiliki hubungan dekat dengan
Mohammad Reza dari Global Energy
Resources. Reza adalah pebisnis minyak
dari Indonesia yang beroperasi di
Singapura namun berbasis di British
Virgin Island, sehingga bebas pajak.
Di bawah bendera Global Energy
Resources, ada lima perusahaan, yaitu
Supreme Energy, Orion Oil, Paramount
17