istimewa
Pertamina
sebagai anggota konsorsium kontraktor
West Qurna I.
Pengumuman akuisisi blok tersebut
beriringan dengan pemberitahuan
akuisisi blok-blok lain. Paling tidak, dalam
sepekan itu Pertamina mengumumkan
telah mengakuisisi lima blok migas.
Diawali pada 28 November 2013,
perusahaan minyak pelat merah itu
mengumumkan telah menuntaskan
proses akuisisi ConocoPhilips Algeria
Ltd, anak perusahaan ConocoPhilips
(NYSE:COP) yang menguasai Blok 405A
di Aljazair. Dalam aksi korporasi itu,
perusahaan minyak pelat merah tersebut
merogoh kocek hingga US$ 1,75 miliar
atau sekitar Rp19,2 triliun pada kurs Rp
11.000 per US$.
Blok 405A terdiri dari tiga lapangan
minyak utama, yaitu Menzel Lejmat
North, Ourhoud dan EMK. Di lapangan
Menzel Lejmat North ConocoPhilips
Algeria Ltd. menguasai 65% hak
partisipasi dan sekaligus bertindak
selaku operator, sementara itu hak
partisipasi di lapangan Ourhoud 3,7%
dan 16,9 % di lapangan EMK.
Kemudian pada 29 November,
Pertamina mendapatkan kabar
gembira. Menteri Energi Sumber Daya
Mineral (ESDM) Jero Wacik dalam surat
keputusannya telah memutuskan tidak
memperpanjang kontrak PT Chevron
Pacific Indonesia di Blok Siak, Riau, yang
telah habis pada 27 November lalu. Kini
kontrak pengelolaan Blok Siak diteruskan
oleh Pertamina.
Sehari berselang, Pertamina
mengumumkan akuisisi di Irak
tersebut. Dua hari kemudian, Pertamina
mengakuisisi anak usaha Hess di
Indonesia yang masing-masing
menguasai dua blok migas sekaligus,
yakni 75% hak partisipasi di Blok
Pangkah, dan 23% hak partisipasi di
Blok Natuna Sea A. Untuk akuisisi dua
blok ini, Pertamina menggandeng
PTTEP Netherlands Holding Cooperatie
U.A, anak perusahaan PTTEP. Total nilai
transaksi sekitar US$ 1,3 miliar atau
setara Rp 14,3 triliun (kurs Rp 11.000 per
US$).
Bila ditotal, nilai seluruh akuisisi
tersebut mendapai puluhan triliun
rupiah. Akuisisi itu sendiri adalah satu
dari sekian banyak langkah Pertamina
untuk mengejar target produksi 2,2 juta
barel per hari pada 2025.
Sepekan setelah itu, pada
Senin, 9 Desember 2013, Pertamina
mengumumkan pembangunan ground
EDISI 39 / Tahun Iv / JANUARI 2014
breaking proyek gedung Pertamina
Energy Tower di Kawasan Rasuna
Episentrum, Kuningan, Jakarta Selatan.
Gedung 99 lantai dengan ketinggian
530 meter itu digadang-gadang akan
menjadi representasi transformasi
Pertamina menjadi World Class Energy
Company sekaligus menjadi salah satu
landmark baru Ibu Kota.
Gedung dengan nama Pertamina
Energy Tower ditargetkan selesai
dibangun pada tahun 2020. Pertamina
mengaku masih menghitung kebutuhan
total gedung tersebut, namun ditaksir
mencapai triliun rupiah. Gedung ini
direncanakan akan menjadi bangunan
tertinggi ketiga di dunia setelah Burj
Khalifa, Dubai, setinggi 829 meter dan
Abraj Al-Bait di Saudi Arabia setinggi
601 meter, disusul gedung Taipei 101
di Taiwan setinggi 509 meter. Nantinya,
gedung Pertamina Tower akan menyalip
Taipei 101. Untuk diketahui, biaya
pembangunan gedung Taipei 101 senilai
US$ 1,76 miliar atau setara Rp 19,3 triliun
pada kurs Rp 11.000 per US$.
Dari sejumlah pengumuman
beruntun mengejutkan itu, akuisisi dua
blok luar negeri yang paling membetot
perhatian: akuisisi di Algeria dan Irak.
“Dari dua blok di Aljazair dan Irak saja,
Pertamina bisa mendapatkan 263 ribu
barel pada 2014 mendatang,” kata
Direktur Hulu Pertamina Muhammad
Husein pada seminar dalam rangkaian
‘Pertamina Energy Outlook 2014’ di
Jakarta, Selasa, 17 Desember 2013.
Khusus dari Blok di Aljazair (Algeria),
dari nilai akusisi US$ 1,75 miliar itu,
Pertamina optimistis bisa ada tambahan
produksi minyak 23.000 bph.
Suhartoko, Senior VP Retail
Marketing, menambahkan, dengan
akuisisi blok minyak di Aljazair, Pertamina
mendapat tambahan produksi 20.000
barel per hari. “Sekarang posisi produksi
minyak Pertamina berada di kisaran
200.000-an barel per hari. Dengan
Pertamina mendunia, Pertamina
mentargetkan produksi minyak hingga
jutaan barel per hari pada tahun 2025
nanti. Bayangkan, saat ini total produksi
minyak Indonesia hanya 840.000-an
barel per hari kan,” tutur Suhartoko,
kepada GEO ENERGI.
Benarkah klaim Pertamina itu?
Fakta menarik diungkapkan kantor
berita Reuters. Pada Rabu, 18 Desember
2013, Reuteurs melaporkan, net carrying
value assets dari Conocophillips Algeria
Ltd itu di akhir Oktober pada tahun
Hatta Rajasa, Menko Perekonomian
yang sama hanya sekitar US$ 850 juta,
atau separuhnya dari total nilai akuisisi
yang sebesar US$ 1,75 miliar. Sementara
jumlah produksi yang dilaporkan juga
tidak sebesar yang disampaikan klaim
Pertamina, tapi hanya berkisa r 11.000
bph.
Artinya, ada penggelembungan
klaim produksi minyak lebih dari
separuhnya, dari 11.000 bph menjadi
23.000 bph. Seorang pebisnis migas
membisikkan, bila diuangkan, selisih
produksi minyak itu bisa mencapai US$
150,75 juta atau sekitar Rp 1,7 triliun.
Bila ditotal, kerugian Pertamina
dalam akuisisi di blok Aljazair saja
mencapai US$ 1,05 miliar atau setara Rp
11,6 triliun. Angka ini berasal dari selisih
hasil perhitungan net carrying value
assets (US$ 850 juta) dengan yang harus
dibayarkan Pertamina (US$ 1,75 miliar),
ditambah dengan nilai selisih produksi
minyak (US$ 150,75 juta). Uang yang
tidak sedikit. Ke mana larinya?
Sekilas, proyek-proyek ambisius
Pertamina ini menakjubkan. Pertanyaan
paling mendasar, selain ke mana sisa
hitungan uang yang diduga mengalir
tak jelas, juga dari mana Pertamina
mendapatkan dana untuk akuisisiakuisisi dan pembangunan gedung 99
lantai yang bila ditotal angkanya lebih
dari Rp 50 triliun itu?
Kita tahu setiap tahun Pertamina
membukukan laba di bawah Rp 30
triliun. Tahun 2012 mencetak laba
Rp25,89 triliun atau sekitar US$2,76
miliar. Jumlah ini naik sekitar 14,7% dari
pendapatan tahun 2011 yang sebesar
US$ 2,398 miliar.
15