Garuda Indonesia Colours Magazine October 2015 | Page 133

Travel | Bukit Lawang 131 Travel Tips Get around Bukit Lawang is a small village and it is easy to get around by foot. You can walk from one side to the other in about 25 minutes. There are three bridges that provide access to the resorts across the river. Bukit Lawang adalah desa kecil yang dapat dikelilingi dengan berjalan kaki. Hanya diperlukan 25 menit untuk berjalan dari satu ujung desa ke ujung lainnya. One of the many suspension footbridges used by the locals to cross the rivers in Bukit Lawang. If you are feeling adventurous, just take a dip in the river for a refreshing escape from the hot weather. To buy In low season not many of the shops are open on weekdays, however, at the weekend there are several small shops that sell the locally made coconut necklaces. Also, there is a small shop selling bamboo souvenirs, such as key chains, and picture frames. Selama low season, tak banyak toko buka pada hari biasa. Tapi saat akhir pekan sejumlah toko kecil menjual kalung dari batok kelapa, serta kerajinan dari bambu seperti gantungan kunci dan bingkai foto. ATM Travellers with Visa ATM cards should bring cash with them to Bukit Lawang. Whilst there is a Mastercard ATM machine 7km from town, the nearest Visa ATM is 60km away in Binjai. If you run out of money, the 4-hour roundtrip motorbike ride will set you back 200,000-400,000 rupiah. Wisatawan dengan kartu ATM VISA ada baiknya membawa uang tunai ke Bukit Lawang karena mesin ATM Mastercard berada 7 km dari kota sedangkan mesin ATM VISA terdekat berjarak 60 km, di Binjai. Jasa ojek pulang-pergi selama 4 jam adalah sekitar 200.000-400.000 rupiah. Setiap pengunjung harus didampingi seorang pemandu resmi setiap saat karena orang rawan tersesat dalam hutan selebat ini. Bukit Lawang merupakan pintu masuk utama sekaligus bagian dari Taman Nasional Gunung Leuser yang luas. Hutan hujan tropisnya sangat beragam sehingga para ahli menganggapnya sebagai laboratorium ekosistem yang lengkap dengan adanya aneka ragam hutan serta satwa. Selain menemukan orang utan sumatera di sini, bersiaplah untuk menyaksikan kelucuan monyet kedih, owa, merak, hingga enggang. Mamalia besar lainnya, seperti beruang madu, gajah, serta harimau dan badak sumatera yang terancam punah dikenal pula sebagai penghuni hutan ini. Namun, menemukan satwa ini tak mudah bagi trekker kebanyakan sebab sarang mereka terletak jauh di dalam jantung hutan yang nyaris tak tertembus. Setiap pengunjung harus didampingi seorang pemandu resmi setiap saat karena orang rawan tersesat dalam hutan selebat ini. “Jangan sekali-kali terlalu dekat atau mencoba memberi makan satwa liar karena perbuatan itu hanya akan membahayakan satwa, bukan membantu,” Ipol menekankan. Kerap kali terjadi, hewan, di antaranya orang utan, jatuh sakit atau keracunan setelah mengonsumsi makanan manusia dari pengunjung ataupun pemandu yang tidak berlisensi. Dia menyarankan saya agar tetap tenang dan menghormati satwa di sini karena mereka sangat sensitif pada suara dan gerakan yang mengagetkan. Dalam perjalanan, kami harus melintasi sebuah perkebunan karet yang lebat dahulu, milik para penduduk setempat, sebelum mencapai gerbang taman nasional. Melintasi perbatasan menuju hutan yang sungguh-sungguh liar ternyata menyeramkan; saya merasa agak mirip Indiana Jones yang harus menunduk dan meliukkan tubuh agar dapat melewati dedaunan yang lebat. Suasananya sunyi, kecuali adanya suara-suara alam serta gemerisik dedaunan dan cabang pohon yang terinjak bot kami. Mendadak, Ipol berhenti dan menunjukkan seekor orang utan sumatera dewasa tepat di hadapan kami. Setelah mengamati lebih dekat, kami tahu bahwa orang utan ini adalah seekor pejantan alfa dewasa, dengan bentuk wajah yang khas mirip cakram, pipi tembam, dan jenggot tipis berwarna cokelat. “Jangan bersuara sedikit pun,” perintah Ipol. Pejantan alfa sangatlah kuat—karena memiliki kekuatan setara 6 pria dewasa—dan bisa bertindak sangat agresif. Orang utan ini tengah sibuk mengumpulkan dan menyantap buah. Sejenak, orang utan tersebut berhenti;