Garuda Indonesia Colours Magazine October 2014 | Page 125
Travel | Tokyo
123
Denki-bran
Denki-bran was developed in 1882
by Dembe Kamiya, founder of the Kamiya
Bar, which is still located at its famous
1-1-1 Asakusa address. The recipe is a
guarded secret but it is known to contain
brandy, gin, curacao and a variety of
herbs. With an alcohol content as high
as 40%, it carries quite a kick and
ac quiring a taste used to be something
of a rite of passage.
Motsu nikomi and kushikatsu at
Suzuyoshi, an izakaya on Hoppy-dōri.
Grilling kushikatsu at Suzuyoshi.
Denki-bran dipopulerkan tahun 1882
oleh Dembe Kamiya, pendiri Kamiya Bar
yang berlokasi di 1-1-1 Asakusa. Walau
resep pembuatannya dirahasiakan, yang
jelas dalam minuman ini terdapat brandy,
gin, curacao, dan sejumlah tanaman.
Dengan kandungan alkohol sebesar 40%,
minuman ini cukup enak dan dahulu
biasa digunakan dalam ritual perayaan.
kue mochi mewah, foto-foto Asakusa zaman
dulu, dan bola kristal berisi miniatur Kuil Senso-ji
di dalamnya. Tempat makan pun tersebar
di segala penjuru: sejumlah makanan terenak
kota ini bisa ditemukan di tempat ini—dan
dengan harga yang cukup murah.
Tokyo •
JAKARTA AND DENPASAR TO
TOKYO (NARITA & HANEDA)
Frequency 28 flights per week
Antrean mengular para penggemar belut
panggang tampak di luar Koyanagi di Asakusachuo-dōri (selain unagi, mereka juga mengantre
untuk ayam toriju lezat di atas nasi serta dadar
gulung tamagoyaki). Sedikit ke arah utara di
Hoppy-dōri, izakaya (kafe-bar) memenuhi jalanan
dengan aroma kudapan panggang yang dikenal
dengan nama kushikatsu dan penganan rebus
berbahan ampela ayam atau daging sapi yang
empuk. Sementara itu di dekat Sungai Sumida,
para pelanggan berpipi merah tampak berjalan
limbung keluar dari Bar Kamiya. Bar bergaya
Jepang-Barat ini sudah ada sejak 130 tahun lalu
dan masih menawarkan minuman beralkohol
hasil racikannya yang dikenal dengan nama
denki-bran atau “brendi elektrik”. Tidak
mengherankan bila para pelanggan tampak
sedikit pusing...
Seiring terbenamnya matahari, kios-kios
di sepanjang Nakamise-dōri pun mulai tutup.
Namun demikian, masih tampak sekumpulan
orang di sekitar Hōzōmon, dan meskipun aula
utama ditutup pukul 17.00, antrean panjang para
peziarah (mereka datang langsung dari kantor)
mengarah ke pintu kuil yang sudah ditutup dan
kotak persembahan. Suara gemerincing donasi
yang dimasukkan para peziarah ke dalam kotak
persembahan terdengar seiring penghormatan
yang mereka berikan kepada Kannon Bodhisattva
yang tak terlihat.
Pada saat yang sama, sinar mentari yang menimpa
kuil dan pagoda lima tingkatnya mulai surut.
Di saat itu pulalah, lampu-lampu restoran dan
sejumlah izakaya, gedung teater tradisional, dan
ryokan (penginapan bergaya tradisional Jepang)
mulai bersinar benderang.
Hal tersebut terjadi selama ratusan tahun
di tempat ini, di mana orang-orang
makan, tidur, dan beribadah.