Garuda Indonesia Colours Magazine October 2013 | Page 104
102
Explore | Interview
Lucienne Anhar, pemilik dan
manajer resor bergengsi Tugu,
berbincang dengan Colours
mengenai kecintaan keluarganya
terhadap warisan seni Indonesia.
“Sepertinya waktu itu saya berumur empat tahun,”
Lucienne Anhar mengingat, “Namun saya ingat
berkeliling Jawa, mendatangi pertanian dan
sawah- sawah di mana ayah saya berburu
artefak kuno.”
Tugu’s Gong House Art Gallery is an
Aladdin's Cave of some of the Anhar family’s
finest pieces.
Tugu resorts are liberally adorned with
fascinating pieces representing the diversity
of Indonesian art.
JAKARTA TO DENPASAR
Flight Time
1 hr, 30 mins
Frequency
98 flights per week
• Denpasar
Beberapa dekade kemudian, pencarian itu
berlanjut dengan antusiasme yang sama dari
kedua ayah dan anak itu.
“Rumah di mana saya dibesarkan penuh dengan
barang-barang antik. Lama-kelamaan sudah tidak
ada lagi tempat untuk menyimpan barang-barang
antik itu. Jadi, ayah saya yang seorang pengacara
memutuskan untuk membangun ’motel kecil’ di
kota asalnya di Malang, dengan tujuan agar artefak
Indonesia bisa dinikmati oleh orang lain dan
dikagumi sebagai bagian penting dari warisan
nasional kita.”
‘Motel’ itu adalah properti pertama Tugu. Putri
berdarah peranakan (China/Indonesia) dari Anhar
Setjadibrata yang ceria itu duduk di atas bale kayu
besar yang merupakan lobi resor di Canggu, Bali,
sambil mengingat-ingat sejarah perkembangan
Tugu yang luar biasa.
Walaupun masih memiliki ketertarikan
dalam berburu artefak kuno, Lucienne mengaku
sudah tidak memiliki banyak waktu untuk
bepergian seperti dulu lagi. “Resor ini memakan
banyak waktu saya, saya biasanya berada di Jawa
atau Lombok untuk mengelola resor", "katanya
sambil tersenyum. Seperti kamar hotelnya, lobi
Tugu juga dipenuhi barang-barang antik yang
dikumpulkan dari seluruh Indonesia. Namun,
kebanggaan utama Lucienne terletak pada
barang-barang yang ‘dibawa pulang’: “Ada satu
kamar di sini yang didedikasikan untuk perang
Puputan Bali (di mana ribuan orang Bali lebih
memilih mati daripada menyerah kepada penjajah)
dan setengah dari barang-barang itu dibawa pulang
(ke Indonesia) dari Belanda.”
Sebuah patung garuda tinggi besar mendominasi
lobi resor. Lucienne menceritakan asal usul
makhluk bersayap yang menggendong Dewa
Wisnu (dan – nantinya – menjadi simbol maskapai
nasional) itu: “Saya tersandung Garuda itu di
taman pemahatnya di dekat Ubud,” ingatnya.
“Waktu itu sudah gelap tapi saya memiliki perasaan
akan menemukan sesuatu spesial, jadi saya sinari
benda itu dengan senter dan saya melihat bagian
mata dari sebuah patung. Kami mulai menggali
dan menemukan patung garuda setinggi 8 meter,
setengah terkubur dalam lumpur.”
Penemuannya akan patung garuda itu,
menunjukkan bahwa Lucienne telah mewarisi
kegigihan ayahnya. “Kami harus membangun ulang
seluruh bagian depan hotel untuk memasukkan
patung ini,” ingatnya. “Diperlukan banyak