Garuda Indonesia Colours Magazine March 2018 | Page 101

Travel | Kupang 99 BPTV The green grass of Tunua Hill at sunset. Colours mengunjungi pusat Nusa Tenggara Timur, di mana gunung-gunung batunya menyimpan keselarasan antara budaya dengan alam dan tepian laut yang menggoda. “Kota ini berdiri di atas karang berkapur. Hingga ke daerah ketinggian pun kita akan menemukan padas-padasnya. Tapi bukan berarti segalanya di Kupang adalah keras dan sulit. Kita bisa menemukan kepermaian juga ketenteraman di atasnya.” Itu ucapan paman saya yang sudah dua dekade bermukim di Kupang. Saya mengingatnya lagi saat merebahkan diri di atas bebatuan besar di sisi barat lereng Gunung Fatuleu. Jelang senja, pendakian Gunung Fatuleu yang melalui sela batu-batu padas menghadiahi saya tebaran panorama indah melewati punuk-punuk bukit hingga ke teluk nan jauh. Pulau Timor di mana Kupang berada memang terbentuk dari karang, dan rentetan pegunungan yang berserakan hingga ke ujung timur pulau di tenggara Indonesia ini merupakan formasi dari batuan metamorf. Hampir semua nama gunung di Timor diawali dengan kata “fatu” yang artinya ‘batu’. Di dekat Gunung Fatuleu ada pula Gunung Fatuanin. Keduanya dulu dianggap mistis, tapi kini berubah menjadi lokawisata yang digemari saban akhir pekan. Untuk mencapai kaki kedua gunung ini, saya berkendara sekitar 50 km dari pusat Kota Kupang, melalui jalan yang tidak sulit. Jalan yang sama ini juga kemudian membawa saya menuju wilayah-wilayah lain di tengah pulau, tempat suku asli Dawan hidup di dataran tinggi. Saya berniat mengunjungi kampung tradisional Boti, salah satu sub-suku Dawan yang disebut-sebut masih teguh mempertahankan adat istiadatnya. Sayangnya, ketika saya tiba, kampung itu sedang berduka dan kunjungan “orang luar” tidak diperkenankan. Sebagai gantinya, Dicky Senda, seorang penulis muda dari Mollo, mengajak saya ke Fatumnasi, sebuah desa di gerbang Cagar Untitled-2 1 13/02/18 11.01