Garuda Indonesia Colours Magazine July 2014 | Page 122
120
Travel | Malang
© David Metcalf
Saya berdiri di depan
Hotel Tugu, Malang, sambil
menimbang-nimbang dalam
hati becak manakah yang akan
saya tumpangi hari itu. Semua
tukang becak itu memiliki
otot betis sebesar bola tenis,
namun sebagian dari
mereka sedang tertidur.
Tak mengherankan karena pekerjaan
mereka yang banyak mengeluarkan energi
dan mengandalkan kekuatan fisik. Namun
ketika saya berdiri di depan barisan becak,
ajaibnya, bagaikan efek domino, satu per satu
dari mereka langsung terbangun
dan duduk tegak, siap mengantarkan
penumpang. Tak lama, saya pun langsung
dibawa melihat-lihat pemandangan
kota yang indah ini.
Dengan 12 universitas yang ada, kota ini
memiliki semangat muda serta budaya yang
beragam di mana keluarga-keluarga di Bali,
Madura, Nusa Tenggara, Timor Timur,
Papua, Maluku, Sulawesi, Kalimantan dan
pulau-pulau lainnya di Indonesia mengirim
anak-anak mereka untuk kuliah di sini.
Tentu saja saya bertemu banyak orang
berpendidikan tinggi di Malang. John,
seorang penjaga pintu yang menyenangkan
di hotel tempat kami menginap, memiliki
aksen Inggris yang sempurna lengkap
dengan intonasi ‘plum-in-the-mouth’,
yang menurut saya mengejutkan
sekaligus mengesankan.
Saya mengambil jalan kecil yang menuju
ke Jalan Burung, dan menemukan sebuah
pasar yang sangat menarik, Pasar Bunga,
yang memiliki dua los, di sebelah kiri untuk
burung dan sebelah kanan untuk bunga.
Banyak jenis burung dijual di pasar ini
termasuk burung beo, burung-burung langka
nan eksotis, burung hantu cokelat, serta
hewan peliharaan lainnya termasuk kelinci
berbulu, marmut gemuk dan ular. Pakan
segar berupa cacing hidup dan serangga
berbentuk aneh memenuhi bak-bak besar.
© Ragil SP / Shutterstock
Malang adalah kota terbesar kedua di
Jawa Timur, dengan populasi 1,2 juta
jiwa. Malang memiliki udara pegunungan
yang sejuk dengan pemandangan dataran
tinggi yang memesona. Ketika naik becak
menyusuri jalanan Kota Malang, Anda
akan menemukan rumah-rumah tua megah
zaman kolonial Belanda, sebagian besar
dibangun pada 1930-an dan 1940-an. Kami
berbelok di jalanan rindang yang berada
di sekitar Jalan Semeru, Jalan Welirang
dan jalan utama, Jalan Ijen. Jalanan itu
merupakan pelarian dari jalan utama yang
panas dan bising. Saya seakan terbawa ke
masa kolonial ketika Indonesia berada
di bawah kekuasaan Belanda. Rumahrumah bersejarah ini, dengan tanaman
bunga bugenvil berwarna-warni,
meninggalkan kesan anggun pada kota
tua Malang, dan tentunya pada Jalan Raya
Ijen, jalan paling bergengsi di Malang, yang
juga dikenal sebagai ‘deretan miliarder’
dengan rumah-rumah seharga lebih
dari satu juta dolar Amerika.