Garuda Indonesia Colours Magazine February 2018 | Page 99
Travel | Baubau
97
Benteng seluas 23,375 hektare ini disebut
sebagai benteng terluas di dunia. Strukturnya
tersusun dari batuan kapur yang konon
direkatkan dengan putih telur. Namun
Burhan Basran, seorang sejarawan muda
yang saya temui, menawarkan versi lain.
Menurutnya, batuan kapur yang menyusun
benteng tersebut merekat secara alami
karena terkena hujan dan panas selama
bertahun-tahun. “Telur hanya digunakan
sebagai suplemen oleh para pekerja selama
membangun benteng tersebut,” kata Burhan.
Jujur saja saya sulit memercayai keduanya.
Karena hingga saat ini belum ada pengujian
ilmiah yang dapat membenarkan salah satu
di antaranya.
Pada sore hari, benteng yang berada
di puncak bukit ini menjadi tempat
berkumpul favorit remaja Baubau.
Dari atas sini pemandangannya sungguh
elok. Kita dapat menyapu pandangan
hingga pusat kota yang padat dan semarak.
Di kejauhan, tampak berbagai kapal hilir
mudik melewati celah sempit antara Pulau
Buton dan Pulau Muna. Sore itu langit
bersih, sehingga saya juga dapat melihat
bayangan Gunung Sambapolulu yang
terletak di Pulau Kabaena sebagai latar.
Matahari mulai lingsir ke barat dan
lampu-lampu kota mulai menyala.
Esoknya, dengan sebuah motor sewaan,
saya menuju Kampung Karya Baru yang
berjarak sekitar 20 kilometer dari pusat
Kota Baubau. Beberapa tahun belakangan,
kampung yang dihuni oleh masyarakat Ciacia
ini menjadi sangat terkenal lantaran mereka
mengadaptasi aksara Hangeul sebagai alat
komunikasi. Meski aksaranya diimpor,
bahasa mereka tetap Ciacia. “Bahasa kami
tidak memiliki aksara, hanya lisan saja.
Membuat kami kesulitan untuk mewariskan
pengetahuan ke generasi di bawah kami. Itu
mengapa kemudian kami meminjam aksara
dari luar,” ujar Abidin, seorang guru SMA
yang memelopori penggunaan aksara
Hangeul di kampung Karya Baru.
Saya sempat merasa sangat geli ketika
pertama kali memasuki kampung ini
dan menemukan aksara Hangeul
di berbagai tempat, mulai dari papan
jalan hingga gerbang sekolah. Sesaat
saya merasa berada di pinggiran Seoul
atau Busan namun tanpa nuansa K-Pop.
Secara visual ini adalah pengalaman yang
cukup unik dan baru bagi saya. Sebagian
orang memelesetkan nama kampung ini
sebagai “Kampung Korea Baru”.
Masih dengan motor yang sama, saya pun
mengunjungi daerah Pasarwajo dan
Palabusa. Sepanjang jalur yang saya lewati,
jalanan di aspal mulus bahkan hingga
desa-desa yang cukup jauh dari jalan raya.
Wajar saja karena Pulau Buton adalah
penghasil aspal. Di pusat Pasarwajo, lapisan
A cannon at a bastion of Buton
Palace Fortress in Baubau.
Pada sore hari, benteng yang berada di puncak bukit ini
menjadi tempat berkumpul favorit remaja Baubau. Dari
atas sini pemandangannya sungguh elok.