Garuda Indonesia Colours Magazine February 2018 | Page 98
Travel | Baubau
5 Senses – Taste
PARENDE
One culinary speciality that is easy
to find in Baubau is parende, or fish
soup with yellow broth. The main
ingredient in parende is mackerel,
tuna, skipjack or red snapper.
The broth has a spicy, sour flavour
and is usually served with kasuami,
a processed rice substitute made
from cassava.
Satu kuliner yang mudah ditemui di
Kota Baubau adalah parende atau sup
ikan kuah kuning. Bahan utama parende
adalah ikan tongkol, tuna, cakalang atau
kakap merah. Kuahnya bercita rasa
asam pedas. Biasanya disajikan bersama
kasuami, olahan pengganti nasi yang
terbuat dari singkong.
Masih banyak bahan dan
olahan pangan berkualitas
tinggi di pasar-pasar
tradisional di Baubau.
Mereka belum tergusur
sepenuhnya oleh
komoditas modern.
1
Ia mempertemukan saya dengan beberapa
arsitek dan peneliti dari Bali yang sedang
mendokumentasikan berbagai komoditas
lokal yang dijual di beberapa pasar
tradisional di Kota Baubau.
Ayu Gayatri Kresna, yang mengoordinasi
penelitian tersebut, mengatakan masih banyak
bahan dan olahan pangan berkualitas tinggi di
pasar-pasar tradisional di Baubau. Mereka belum
tergusur sepenuhnya oleh komoditas modern.
Mulai dari gula aren, berbagai olahan singkong,
racikan bumbu, rempah-rempah, sayuran dan
buah-buahan lokal. Ayu dan timnya blusukan
untuk mendokumentasikan berbagai hal
tersebut, termasuk resep makanan dan perkakas
masak hasil pengrajin Buton. “Penelitian ini
akan kami terbitkan sebagai sebuah buku,”
tutur Ayu. Sebelumnya mereka juga pernah
menerbitkan buku-buku serupa tentang
kekayaan kuliner dan arsitektur Bali.
Bersama Ayu dan timnya, Edi lantas membawa
kami ke Benteng Keraton Buton. Pada pu kul
tiga sore, diadakan upacara haroa di salah satu
rumah penduduk. Upacara haroa adalah
ungkapan rasa syukur masyarakat Baubau saat
memasuki bulan baik dalam kalender Islam.
Setiap tahun, upacara ini diadakan beberapa
kali, termasuk saat ini diadakan dalam
merayakan Maludu atau kelahiran Nabi
Muhammad. Upacara ini dipimpin oleh
seorang lébé atau imam yang akan
membacakan berbagai ayat suci sebagai
sebuah pemberkatan. Ruangan dilapisi dengan
kain berwarna merah, putih dan hitam yang
merupakan warna sakral Kerajaan Buton.
Di sekeliling lébé para pria duduk melingkar
dan di tengah mereka tersaji talam-talam
berisi makanan. Ibu Etje, sang pemilik rumah,
mengatakan bahwa ia menyiapkan 30 buah
talam di mana setiap talamnya berisi pisang
goreng (loka), ubi goreng (kaowi-owi), onde-onde,
bolu gula aren, baruasa, palu, dan waje yang
disusun sedemikian rupa menurut adat.
Setelah memanjatkan doa, para tamu kemudian
menyantap makan siang bersama dengan
suguhan sepiring nasi merah, secangkir opor
ayam (nasu wolio) dan semangkuk sayur
labu air (konduru). Ketiganya merupakan
menu wajib saat upacara haroa.
Maata’a is a traditional
ceremony in Buton. The word
derives from the Laporo tribe
and means ‘eating together’.
Meski masih umum dirayakan oleh masyarakat
Baubau, pelaksanaan haroa dalam bentuk
yang ortodoks hanya bertahan di lingkungan
dalam Benteng Keraton Buton saja. Benteng ini
dulunya merupakan pusat kebudayaan yang
menjadi lokomotif peradaban Buton.
Di dalamnya terdapat istana kerajaan dan
beberapa rumah keluarga terpandang bermarga
La Ode dan Wa Ode yang hingga saat ini
keturunan mereka masih menempati posisi
penting dalam percaturan politik lokal.
1 A fisherman on Topa beach at sunrise.
96