Garuda Indonesia Colours Magazine February 2015 | Page 88

86 Explore | Interview Saya mendapat ide justru ketika melihat alam, arsitektur dan kesenian suatu daerah. ratusan tahun dan nilai-nilai yang diusungnya, Jay sempat khawatir bila penonton di Singapura tak akan tertarik dengan pertunjukan bernilai tradisional yang berkisah tentang cinta, kehilangan dan perang. Disutradarai oleh Atilah Soeryadjaja, pertunjukan tersebut ternyata mendapatkan sambutan baik di Singapura dan membuat masyarakat di dalam negeri turut tertarik, persis seperti yang diharapkan, sehingga mencapai kesuksesan ketika pertunjukan perdana di Indonesia. Sementara dalam memproduksi Ariah, Jay sempat merasa khawatir bila pertunjukan ini akan ditinggal pergi penonton mengingat kisah yang diangkat tidak terlalu familier dan karena penonton Indonesia lebih menyukai seni hiburan modern ketimbang drama tari kolosal. Solusi yang diusung Jay adalah dengan membuat panggung yang luas dengan tugu Monas sebagai latarnya dengan 200 penari serta musik orkestra yang diatur khusus untuk memberikan kesan epik dan patriotisme. Video mapping juga ditembakkan ke atas panggung untuk menciptakan kesan modern pada cerita legenda. Sebagai penata artistik lulusan arsitektur, Jay Subyakto adalah pekerja seni yang aktif berkarya dalam beragam media ekspresi. Dengan kreativitas yang berakar pada budaya Indonesia, Jay terus menggulirkan hal-hal baru. Saat ditemui di kediamannya di bilangan Jakarta Selatan, Jay Subyakto tengah mengambil jeda sejenak sambil kembali mengail ide, setelah baru saja menyelesaikan tugasnya menata artistik dua konser besar yang diselenggarakan nyaris berdekatan pada akhir November lalu, yakni Konser Satu Indonesia–Salute to Guruh Soekarno Putra dan Magenta Orchestra X. Sebagai pekerja seni yang dikenal di seluruh Indonesia, Jay Subyakto tak hanya dikenal sebagai penata artistik berbagai konser musik dan pertunjukan seni, tapi juga sebagai sutradara, produser, dan fotografer. Jay percaya berpindah-pindah media berekspresi dapat membuat inspirasi terus mengalir. “Bahayanya jika saya berada begitu lama di satu tempat, saya hanya akan mengulangulang apa yang pernah saya buat. Kemudian kelanggengan karier kita tidak panjang,” ujar Jay mengenai sejumlah karya yang pernah dibuatnya. Apa pun media ekspresinya, proses kreatif Jay selalu diawali dengan perencanaan yang matang dan riset yang mendalam untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Hal itu pula yang dilakukannya saat menggarap dua pertunjukan seni kolosal yang melibatkan ratusan penari: Matah Ati, yang diambil dari kisah epik Jawa, dan Ariah, yang mengisahkan seorang pejuang wanita Betawi dalam memimpin para petani untuk melawan kolonial Belanda tahun 1869. Kedua proyek tersebut memerlukan riset mendalam untuk mendapatkan detail dalam setiap adegan, mulai dari bentuk panggung yang tak biasa, desain kostum hingga skenario dan jumlah para penari. Dia mengakui ada tantangan tersendiri dalam menjaga keakuratan sejarah sekaligus menciptakan karya seni yang menarik. Tetapi Jay menambahkan bahwa pengorbanan juga merupakan bagian penting dalam proses kreatif. “Sesuatu yang baik tidak mungkin dicapai dengan mudah, harus ada pengorbanan dan usaha keras,” papar Jay yang telah berkecimpung di dunia seni sejak usia 17 tahun. Dalam mengolah dan mengelola seni pertunjukan memang tak lepas dari berbagai tantangan yang ada, tetapi Jay dapat menyikapi seluruh tantangan tersebut dengan strategi dan solusi yang kreatif. Dalam menyiapkan Matah Ati untuk pertunjukan pertama, misalnya, Jay menyiasatinya dengan menggelar pertunjukan tersebut di gedung pertunjukan bergengsi di Singapura, Esplanade Theatre, sebelum kemudian memboyongnya ke Indonesia. Dengan kisah drama berumur Baik dalam menciptakan sebuah karya ataupun mengatur sebuah drama tari kolosal, Jay mengakui mendapatkan idenya saat sedang melancong. “Saya mendapat ide justru ketika melihat alam, arsitektur dan kesenian suatu daerah,” bebernya. “Saya sering takjub dengan daerah di bagian timur Indonesia, seperti Ternate, Tanimbar dan Raja Ampat di Papua. Daerah-daerah itu kaya budaya dan alamnya juga indah sekali.” Jay juga banyak mendapatkan ide saat bepergian ke luar negeri. “Baru-baru ini saya menyambangi Kutub Selatan, tempat yang memang membuat saya penasaran. Di sana saya menemukan keseimbangan alam berjalan sangat teratur. Ada suasana hening di sana yang membuat saya merenung...” Lahir di Ankara, Turki, kecintaan Jay pada negaranya, budaya serta pelesir sudah terpupuk sedari kecil. Ayahnya adalah duta besar dan mantan Kepala Staf Angkatan Laut Republik Indonesia. Mungkin karena takut anak-anaknya kehilangan identitas sebagai orang Indonesia karena lahir dan besar di negeri orang, sang ayah, Laksamana Subyakto, membawanya ke museum, menonton pertunjukan, memberi banyak referensi bacaan tentang Indonesia, dan mengharuskan berbahasa Indonesia. Kecintaan yang terus tertanam dan kemudian mengakar kuat dalam jati dirinya.