Garuda Indonesia Colours Magazine February 2015 | Page 83

Explore | Flavours 81 Janet DeNeefe berkunjung ke Aceh untuk menikmati kopi Gayo sepuasnya, mencoba makanan khasnya yang unik, dan bertemu dengan masyarakatnya yang tegar. Pesawat yang kami tumpangi terbang rendah di atas tebalnya hamparan permadani alam; bentangan sawah yang seakan tak bertepi, sungai yang berkelok, dan rumah-rumah terbuat dari kayu. Tidak ada jejak metropolis atau bangunan bertembok tinggi; hanya daerah pedesaan yang tenang dan damai. Kesan pertama memang menentukan, dan saya pun jatuh cinta di kesan yang pertama. Selamat datang ke Banda Aceh. Saya akui saya memang merasa sedikit gugup mengunjungi tempat yang pernah dilanda musibah besar karena cerita yang saya dengar terlalu memilukan dan bayangan akan musibah tersebut masih menggelayut hingga lebih dari satu dekade lamanya. Banyak berita tentang Aceh yang saya dengar sejak terjadinya tsunami, apalagi tentang peraturan daerah syariahnya yang baru-baru ini diberlakukan. “Anda tidak boleh keluar rumah setelah jam 6 sore,” ujar banyak orang kepada saya. Saya telah siap dengan segala kemungkinan, namun yang pasti, saya telah siap untuk makan dan menikmati kopi khas Aceh ini. Bersama dengan putri saya, kami menginap di Hotel Hermes Palace (www.hermespalacehotel. com) dan berpakaian sesuai dengan lingkungan untuk penjelajahan kami kali ini. Aceh dikenal sebagai tanah seribu kedai kopi dan perhentian kami yang pertama adalah kedai Dhapu Kupi di Simpang Surabaya. Hari telah beranjak siang, saat yang tepat untuk menikmati kopi lokal yang terkenal, dan kebetulan kedai itu memang baru buka di siang hari. Kami melewati lautan sepeda motor yang diparkir di depan kedai dan langsung mengambil tempat duduk. Kedai kopi ini dipenuhi pengunjung dengan seorang barista muda yang sedang sibuk membuat kopi tarik, sejenis kopi latte yang dibuat secara manual dengan mencampurkan susu kental manis ke dalam kopi, lalu menuangkannya dari ketinggian tertentu ke dalam teko. Koordinasi ekstrem antara tangan dan mata sangatlah diperlukan dan para peracik kopi yang kekar ini bisa membuat barista biasa tak ada apa-apanya. Kami pun memesan minuman seraya menyaksikan serta mengagumi atraksi anak muda bertampang campuran antara Sylvester Stallone dan Elvis Presley ini dalam membuat kopi. (Banyak yang bilang bahwa pemuda Aceh itu enak dilihat; jadilah kami menikmati kopi sambil cuci mata!) Kue-kue disajikan bersama dengan minuman yang kami pesan. Beberapa makanan yang lebih berat seperti martabak telor, roti canai (roti lapis berwarna kecokelatan yang disajikan bersama kari) dan makanan tradisional favorit lainnya juga tersedia di tempat ini. Kedai kopi di Aceh itu seperti sebuah pujasera, namun dengan kopi sebagai sajian utamanya, dan pelengkap lainnya yang Anda butuhkan, seperti koneksi internet gratis. Kopi identik dengan mengobrol dan hal yang sering dilakukan para penduduk Aceh adalah duduk menikmati kopi sambil mengobrol sepanjang hari. Di Warung D’Wan kami menikmati sepiring menu sate matang; sate kambing yang empuk dengan soto kambing, semangkuk makanan berkuah dengan bumbu lengkuas dan merica putih, semua disajikan dengan sambal kacang yang baru saja diulek. Saya rasa ada sedikit tomat yang digunakan. Pak Darmawan, pemiliknya, mengatakan dia dapat menjual 4.000 tusuk sate dalam sehari dan buka mulai dari pukul 5 sore hingga pukul 12 malam. Kami lalu menuju Mie Razali untuk mencicipi makanan paling terkenal, mie aceh, mi kuning tebal khas Aceh yang dilumuri saus ala India dan dicampurkan dengan daun kari, udang atau kepiting. Saya memilih udang namun kebanyakan pembeli lebih suka menyeruput mi dengan kepiting. Waktu sudah menunjukkan pukul 6 sore lebih dan kami masih berada di luar hotel. Belum ada tanda-tanda jam malam akan diberlakukan. Para karyawan di tempat ini sangatlah ramah, rasanya seperti dilayani oleh anggota keluarga. “Kami memasak 15 kg kepiting setiap harinya dan 80 kg mi,” jelas pelayannya. Kedai kopi di Aceh itu seperti sebuah pujasera, namun dengan kopi sebagai sajian utamanya, dan pelengkap lainnya yang Anda butuhkan. A young coffee maestro at Dhapi Kupi coffee house making kopi tarik. The head cook at Mie Razali frying crabs for mie Aceh. Mie Aceh at Mie Razali.