Garuda Indonesia Colours Magazine February 2015 | Page 127
Travel | Alor
© Jeff Yonover; © FLPA / Alamy; © Jeff Yonover
suku-suku asli yang menghidupi tradisi
animisme bertahan hingga hari ini.
Untungnya, kini jaringan jalan baru telah
dibangun di pulau utama. Walaupun kerap
kali perlu diperbaiki, jalan baru telah
memberi akses ke dataran tinggi, tempat
suku asli yang sangat ingin saya kunjungi.
Anda sebaiknya menyewa sopir yang
sudah berpengalaman untuk mengantar
Anda melewati jalanan yang menanjak ini.
Tikungan tajam, reruntuhan di tepi jalan,
dan sempitnya jalan tanah, lika-liku
melewati hutan lebat, membawa kami
menyusuri pedalaman pulau ini. Kami tiba
di Desa Hula di Alor Barat, sebuah wilayah
yang dikenal karena adanya komunitas
penenun ikat tradisional. Penenun di sini
masih menggunakan teknik pewarnaan
dengan 300 sumber warna alami—mulai
dari tanaman akar kuning, tinta gurita
dan cumi-cumi, madu, kulit pohon badam,
biji jambu, sirih, daun nila, kulit pohon
mangga, dan bahan lainnya—untuk
memberikan aneka warna gelap, serupa
tanah, pada benang wol, katun, ataupun
sutra. Pola tenun beragam, terinspirasi
oleh alam atau upacara adat setempat.
Terpesona oleh beragam jenis kain ikat,
saya cukup terkejut saat tahu mengenai
kelangkaan kain ini dari warga setempat.
Kain tenun ikat mengandung makna penting
dalam adat dan upacara-upacara. Motifnya
berbeda satu sama lain karena diwariskan
dari generasi ke generasi dalam satu keluarga
sehingga kain yang berusia tua dan bermutu
tinggi akan dihargai mahal di pasar
internasional. Motif kain ikat Alor sangat
dicari, bukan hanya karena langka, melainkan
karena desainnya yang sederhana namun
cantik sehingga kain ini memiliki tampilan
yang polos dan berkesan introvert, menarik
perhatian para kolektor. Sejak menginjakkan
kaki di Alor dan pulau-pulau sekitarnya
tahun 1928 hingga 1929, pakar antropologi
asal Jerman, Ernst Vatter, menulis tentang
gaya tenun setempat, “Ornamen tekstil ini
juga sederhana, namun dalam hal ini,
kesederhanaannya merupakan kelebihan
estetis. Dalam jangka panjang, motif ini
memiliki efek artistik yang lebih tahan lama.”
Benar saja, pola yang simpel merata pada
garis-garis mendatar, kebanyakan sekadar
garis-garis tipis, dihiasi motif-motif
geometris mungil atau bentuk -bentuk hewan
laut yang modis menarik hati, bahkan bagi
orang awam seperti saya. Tapi sebagai orang
Indonesia, rasanya senang saat melihat
serbaneka dan keragaman budaya bangsa kita
yang tecermin pada pelbagai jenis tekstil kita.
Dalam bukunya tentang suku asli Alor, Vatter
menggambarkan Alor sebagai sebuah pulau
yang tak banyak berubah meski telah berusia
ratusan tahun, dihuni oleh penduduk dengan
beragam etnis. Lebih dari 85 tahun sejak
ekspedisi Vatter, saya masih mendapatkan
nuansa yang sama saat berada di antara
masyarakat suku asli yang hangat,
ramah dan harmonis.
Selanjutnya, kami mengunjungi Suku
Abui di Desa Takpala, Alor utara. Penduduk
setempat menyambut kami dengan senyum,
sementara sang kepala suku, Papa Darius,
menyambut kami. “Selamat datang di Desa
Takpala,” katanya seraya memegang sebuah
moko. Dia menabuhnya 4 kali dan sukunya
pun mulai menarikan tari tradisional
bernama lego-lego. Kami berada di mesang,
semacam alun-alun tempat semua upacara
diadakan. Di tengah-tengah mesang, ada
tumpukan tinggi batu-batu yang disebut
mesbah. Semua rumah di desa ini menghadap
ke arah mesang dan mesbah, membentuk
lingkaran, sehingga komunikasi dan
kontak sosial di antara para penduduk
terjalin lebih baik.
Meski sebagian besar penduduk Alor
telah memeluk agama Nasrani atau Islam,
kepercayaan dan praktik animisme masih
lestari. Menurut saya, ada banyak ritual
penduduk Alor yang mencerminkan
kesinambungan dan keseimbangan yang
aktif antara alam dengan manusia yang telah
lama hilang dari masyarakat modern.
With 45 dive sites, 20 of
which are considered to be in prime
condition, the Alor Archipelago is a
world-class dive destination for its sheer
underwater diversity.
125