Garuda Indonesia Colours Magazine December 2017 | Page 134

132 Travel | Morotai
1
1 Fresh yellowfin tuna sashimi from Morotai Island at the local port of Bere Bere .
2 At the port of Bere Bere , a fresh haul of yellowfin tuna arrives .
3 Arriving at the white-sand beach of Tabailenge Island for an afternoon surf trip .
2
Di pantai , kami bertemu nelayan yang sedang memperbaiki perahu bercadik , yang dilengkapi layar kecil untuk bepergian jauh melintasi Pasifik untuk mencari ikan .
Hutan Morotai menyelimuti kami . Saya membayangkan tersesat selamanya di antara pepohonan kelapa dan semak belukar yang rimbun . Di dalam mobil , saya teringat kisah menakjubkan Teruo Nakamura yang menghilang di Morotai lebih dari 70 tahun lalu .
Sebagai tentara Jepang , Nakamura ditempatkan di pulau ini pada 1944 , namun terpisah dari divisinya dalam kekalutan di hari-hari terakhir Perang Dunia II . Uniknya , Nakamura tidak pernah menyadari bahwa perang telah berakhir , dan ia menghabiskan 29 tahun bersembunyi di hutan Morotai sampai ditemukan pada tahun 1974 . Sebuah air terjun dan monumen didirikan atas namanya .
Setelah satu jam perjalanan , kami sampai di Desa Buho Buho . Keluar dari jalan raya , kami melewati sekolah yang dihiasi mural besar yang menampilkan gambar ombak dan selancar yang dilukis oleh siswa setempat . Jelas terlihat bahwa olahraga berselancar telah menyatu dengan masyarakat di sini .
Di pantai , kami bertemu nelayan yang sedang memperbaiki perahu bercadik , yang dilengkapi layar kecil untuk bepergian jauh melintasi Pasifik untuk mencari ikan . Kami juga bertemu sekelompok siswa sekolah menengah di desa ini sedang menyaksikan ombak bergulung di depan rumah mereka . Beberapa papan selancar tergeletak di bawah bayangan pohon kelapa . Awalnya malu-malu , mereka langsung antusias saat kami mulai bicara tentang selancar .
“ Di mana tempat berselancar favorit kamu ?” tanya saya pada Febi , salah satu yang tertua di kelompok itu . “ Di kampung ini , tapi hari ini ombaknya kecil ,” jawabnya , menunjuk ke arah ombak setinggi pinggang yang bergulung sekitar 200 m dari tempat kami berdiri . “ Apa ada pantai lain yang ombaknya lebih bagus hari ini ?” tanya saya lagi . Febi mengangguk , menunjuk ke utara , “ Pantai Batu Lobang .”
Penjelajahan selancar Morotai kami pun dimulai . Kami memasukkan papanpapan selancar buatan tangan yang sudah turun-temurun ke dalam van , dan para peselancar Buho Buho ini siap mengarungi ombak dan menunjukkan pada kami tempat favorit mereka . Tidak ada yang bisa menandingi kesempatan belajar langsung dari penduduk setempat , dan saya senang melihat hal-hal terbaik di pulau ini lewat mata mereka .
Dan benar saja , Batu Lobang sesuai dengan harapan saya : pantai berpasir putih yang indah dikelilingi pepohonan kelapa . Dua formasi karang besar menonjol di laut biru Pasifik . Tanpa membuang waktu , Febi dan teman-temannya menggotong papan selancar mereka dan berlari penuh semangat melintasi pasir , menuju ombak yang bergulung . Mereka mengayuh papan selancar , mengarungi arus dan melewati karang untuk mencapai titik take-off . Dalam beberapa menit , Febi mendapat ombak yang bagus , dan sambil berteriak girang ia memiringkan papan selancarnya ke dinding ombak biru jernih .
Setelah menghabiskan satu jam bermain ombak , senyum puas terlihat di wajah mereka . Tak lama kemudian , sinar matahari sore menerobos pohon kelapa yang tinggi dan itu berarti waktunya bagi para peselancar Buho Buho ini pulang ke rumah untuk makan malam .
Saat mengantar Febi dan peselancar lainnya pulang , mereka bertanya , “ Kita akan ke mana besok ?” Frinco dan saya belum punya rencana , dan sepertinya mencari lebih banyak ombak bersama para peselancar lokal adalah kesempatan emas untuk melihat yang terbaik di Morotai yang indah ini . Kami pun setuju untuk bertemu di tepi danau Buho Buho keesokan pagi dan melihat kondisi untuk berselancar .