Garuda Indonesia Colours Magazine December 2017 | Page 124

122 Travel | Rinding Allo Rumah-rumah berdinding kayu berjejer saling berhadapan, mengapit jalan setapak di tengah Dusun Kawalean, gerbang Desa Rinding Allo. 1 1 This cotton will be spun into yarn then coloured before it can be woven into fabric. 2 Candlenuts, shallots, tarum leaves, tingkadang leaves, mengkudu roots, kapur sirih and other plants are used as dye and adhesive in the making of Rongkong woven yarn. 5 Senses – Taste COPPER LEAF 2 kuda-kuda juga membawa tas yang berisi pakaian dan alat mandi. Wallace, pada kunjungan pertamanya, juga mengangkut barang-barang bawaannya dengan kuda. Saya mengiringi kuda-kuda beban berjalan di jalan setapak yang mengarah ke Manganan. Tak sampai satu jam, saya sampai di lapangan di tengah Dusun Manganan. Di bawah terik siang, perempuan- perempuan dusun berkumpul di beranda-beranda rumah. Hanya satu-dua pria paruh baya dan anak-anak yang berlalu-lalang. Dusun ini lengang. Ke mana orang-orang dusun lainnya? Tak lama berselang, Erwin, seorang petani Manganan, muncul seraya menuntun lima ekor kuda beban. Lalu, beberapa pria keluar rumah, bergegas membantu menurunkan karung berisi padi yang baru dituai dari atas punggung kuda. Rupanya saya datang ketika musim panen tiba di Rinding Allo. Pada musim panen, seperti di musim tanam, orang-orang lebih ramai di sawah-sawah, membuat dusun jadi lengang. Selepas magrib, saya bertamu ke rumah Sitantu Panapi. Ia seorang Matua, jabatan pembesar adat, di Manganan. Di ruang tamunya, Matua bercerita tentang dusun-dusun di Rinding Allo yang aman dan tenteram. Saya teringat perkataan Adnan. “Polisi di sini tidak ada kerja. Polsek tutup karena kampung saya tidak ada yang berbuat kriminal,” kata Adnan di dalam hutan Rongkong kemarin. Dari Matua saya tahu bahwa masyarakat Rinding Allo terikat pada Sumpah Rongkong, undang- undang adat setempat. “Tana Rongkong tang dingei sila’tak sitaburarakki atau Tanah Rongkong pantang terjadi perkelahian atau tindakan kekerasan,” Matua membaca salah satu isi Sumpah Rongkong. “Jika ada masalah, harus segera diselesaikan secara kekeluargaan,” terang Matua. Dari arah barat, kabut turun dengan cepat, menyelimuti sawah-sawah. Saya dipagut hawa pagi lereng Manganan. Di persawahan, bunyi malombu—alat musik tiup dari daun pandan— saling bersahutan. Seketika, saya seperti sedang mendengar sebuah simfoni orkestra. “Pertunjukan musik paling purba dalam sejarah peradaban manusia adalah di persawahan, ladang, pesisir pantai hingga di balai-balai untuk meninabobokan anak kecil,” tulis Hokky Situngkir dalam bukunya Kode-Kode Nusantara. “Kalau malombu terdengar, berarti musim panen tiba,” kata Daniel Sule, seorang petani Manganan, kepada saya. Bagi orang-orang di Rinding Allo, masa panen adalah saat-saat penuh sukacita. Ketika para pria riuh membunyikan malombu di sawah-sawah, perempuan-perempuan memainkan magenton—memukul-mukul lesung padi dengan alu—di dalam dusun. Wallace tentu tak menjumpai pertunjukan ini. Copper leaf is a type of plant that grows in Rinding Allo, which residents of Salurante hamlet typically fry for snacks. Copper leaf crackers are found in most locals’ houses, served with coffee to go with morning or afternoon conversations in this chilly region of Sulawesi’s highlands. Daun tembaga adalah tumbuhan liar yang hidup di Rinding Allo. Oleh warga Dusun Salurante, daun ini digoreng dan dijadikan kudapan ringan. Di rumah-rumah warga, gorengan daun tembaga ini mudah ditemui, dan biasa dihidangkan bersama kopi hangat untuk menemani obrolan pagi atau sore hari di dataran tinggi berhawa sej