Garuda Indonesia Colours Magazine December 2017 | Page 100

98 Explore | Interview
Dan ini bukan cuma soal mendaki gunung . Kami juga ingin melihat bagaimana orang-orang di sana menjalani hidup mereka .
Akhir tahun kerap kali dipilih sebagai waktu untuk berkontemplasi dan menetapkan resolusi untuk tahun yang akan datang .
Namun , hal berbeda dilakukan pendaki gunung Mathilda Dwi Lestari , atau Hilda , dan Fransiska Dimitri Inkiriwang , atau Didi , yang telah menetapkan target mereka untuk tahun 2018 sejak beberapa tahun lalu .
Hilda dan Didi saat ini sedang menjalankan misi mereka untuk menjadi perempuan pendaki gunung pertama dari Asia Tenggara yang mencapai “ tujuh puncak ” gunung tertinggi di tujuh benua . Secara historis , ada beberapa versi “ tujuh puncak ”, dan daftar tujuan Hilda serta Didi adalah Puncak Jaya , yang dikenal juga sebagai Carstensz Pyramid di Papua ( 4.884 m di atas permukaan laut ), Vinson Massif di Antartika ( 5.535 mdpl ), Elbrus di Rusia ( 5.642 mdpl ), Kilimanjaro di Afrika ( 5.895 mdpl ), Aconcagua di Amerika Selatan ( 6.962 mdpl ), Denali di Alaska ( 6.190 mdpl ) dan Everest ( 8.848 mdpl ) di perbatasan Tibet dan Nepal .
Hingga November 2017 , tercatat 416 pendaki gunung telah berhasil mencapai ke tujuh puncak , namun hanya 71 di antaranya perempuan .
“ Hanya ada delapan pendaki Indonesia yang sudah mencapai tujuh puncak dan tidak ada satu pun perempuan ,” kata Didi . “ Kami belajar ( tentang pendakian gunung ) dari senior-senior kami , tapi ada hal-hal tertentu yang harus kami pelajari sendiri .”
Bulan Agustus lalu , Hilda dan Didi menjadi headline di media nasional setelah mereka kembali dari Denali di Alaska . Ini adalah puncak keenam yang mereka taklukkan dalam tiga tahun terakhir . Artinya , tinggal Puncak Everest yang harus mereka capai untuk menyelesaikan ekspedisi tujuh puncak ini .
“ Kami berdua senang sekaligus takut . Kami mendengar banyak hal tentang perjalanan ke Everest . Ada banyak risiko , makanya kami berlatih sangat keras supaya benar-benar siap ,” kata Hilda . “ Dan ini bukan cuma soal mendaki gunung . Kami juga ingin melihat bagaimana orang-orang di sana menjalani hidup mereka .”
Dua sahabat ini sama-sama berusia 24 tahun dan berasal dari Tangerang , Banten , namun memiliki latar belakang keluarga yang berbeda . Hilda , yang lebih tua beberapa bulan dari Didi , adalah satu-satunya pendaki gunung di keluarganya , sedangkan Didi , anak bungsu dari tiga bersaudara , berasal dari keluarga pendaki gunung . Mereka samasama kuliah di Universitas Parahyangan ( Unpar ) di Bandung , yang memiliki budaya pendakian gunung yang mengakar kuat di komunitas pencinta alamnya , Mahitala .
Meski keduanya menyukai olahraga outdoor , Didi mengatakan mereka baru mulai mendaki gunung tahun 2013 , beberapa tahun setelah mereka masuk universitas dan bergabung dengan Mahitala . Selain mendaki gunung-gunung di Indonesia , seperti Papandayan , Gede , Sindoro dan Pangrango , tujuh puncak menjadi pengalaman pertama mereka menghadapi lanskap asing .
“ Di Indonesia , kami berhadapan dengan jalur berbatu , semak berduri dan hutan hujan tropis . Sementara di puncak-puncak di luar negeri , kami belajar bertahan di permukaan es , salju dan badai . Terkadang ada badai salju ,” kata Didi .
Untuk mempersiapkan diri menghadapi Everest , Hilda dan Didi menjalani berbagai sesi latihan keras , seperti jogging , trekking , panjat dinding , berenang dan panjat tebing , enam hari dalam seminggu . Mereka juga mempelajari Metode Wim Hof , teknik pernapasan untuk menghasilkan enzim dan membantu tubuh bertahan dalam suhu dingin . Latihan ini dilakukan di kolam renang yang diisi balok es .
“ Kami melakukan teknik ini saat angin kencang , supaya kami tidak kena radang dingin atau hipotermia selama ekspedisi ,” kata Hilda .
Walau Didi dan Hilda sudah berhasil menaklukkan enam dari tujuh puncak , tidak semua pendakian mereka berakhir bahagia . Pada Januari 2016 , keduanya berpelukan dan menangis di puncak Aconcagua karena teman mereka , Dian Indah Carolina , jatuh sakit dan tidak dapat melanjutkan pendakian . Hilda mengatakan bahwa ini adalah salah satu momen paling menyedihkan dalam ekspedisi mereka .
“ Dari ketinggian 6.200 ( mdpl ), saya bawa Caro kembali ke camp kedua yang lebih jauh di bawah , di sana ada fasilitas medis . Karena tidak ada helikopter , kami harus bekerja sama untuk membawa semua barang kami dan memastikan Caro dievakuasi ke rumah sakit ,” kenangnya .
Setelah Everest , tujuan mereka selanjutnya adalah menyelesaikan studi program sarjana hubungan internasional di Unpar . Ketika mereka mendaftar untuk mengikuti ekspedisi tujuh puncak pada 2015 , mereka sadar bahwa kesempatan seperti ini tidak akan datang dua kali dalam hidup mereka .
Sebagai mahasiswa , mereka bisa mengirimkan proposal ke perusahaan-perusahaan untuk mengumpulkan uang untuk membiayai ekspedisi ini . Biaya untuk setiap pendakian berbeda , mulai dari Rp200 juta sampai Rp500 juta . Pendakian ke Everest adalah yang paling mahal , diperkirakan mencapai Rp2 miliar . Ini termasuk biaya pelatihan , perlengkapan , izin mendaki gunung , logistik dan biaya perjalanan lainnya .
“ Kami tidak akan pernah bisa melakukannya dengan biaya sendiri ,” kata Didi . Karena itu , mereka rela mengundur waktu kelulusan dan masa depan karier mereka . Didi dan Hilda saat ini juga sedang mengerjakan sebuah buku dan film dokumenter yang rencananya dirilis pada 2018 .