Garuda Indonesia Colours Magazine August 2016 | Page 82
78
Explore | Interview
Penonton banyak
menyukai film yang
dibintanginya karena
kekonyolannya saat
pacaran dan kehidupan
cintanya yang
kurang beruntung.
Yang mengagumkan dari kesemuanya
adalah, walaupun mengalami banyak
masalah, seluruh hasil karya Radit melewati
proses kreatif yang ketat. “Saya menggunakan
teknik dan struktur yang sistematis dalam
tulisan saya,” ujar Radit, sambil menyebutkan
tiga fase dan delapan struktur berurutan yang
memengaruhi banyak kisahnya. “Saya mulai
dengan premis dasar, menaruh inti dalam satu
atau dua kalimat, lalu mengembangkannya
menjadi tiga fase, di mana setiap fase
memiliki urutan yang membuat cerita
terbagi ke dalam tiga fase; awal kejadian,
masalah dan penyelesaian.”
Dengan menggunakan sistem seperti
ini, komikus yang memiliki sisi serius ini
mengungkapkan bahwa dia dapat
menyelesaikan sebuah film dalam waktu tiga
bulan. “Saya tidak mau menunggu datangnya
inspirasi atau mood,” ujarnya tegas. “Menulis
bukanlah sebuah keajaiban. Anda bisa
menciptakan dan memotong-motong cerita
seperti halnya seorang insinyur yang
menciptakan atau melepaskan bagian-bagian
robot.”
Komedian berbakat
peraih sejumlah penghargaan
Raditya Dika berbincang
dengan Colours mengenai
proses seni yang dijalaninya,
keinginannya untuk sukses
dan tak henti belajar.
Walaupun terkenal dengan komedi
tunggalnya dan enam buku larisnya, Raditya
Dika memiliki banyak talenta; dia memulai
kariernya sebagai blogger sekaligus penulis,
lalu pindah ke dunia komedi, dan kini
dikenal sebagai seorang aktor, sutradara
dan produser film. “Saya ini seorang
pendongeng,” ujar Radit, begitu biasa para
penggemarnya menyapa. “Hanya saja saya
menceritakan dongeng itu lewat berbagai
media, baik itu blog, buku, film, ataupun
pertunjukan komedi.”
Menurut pria berusia 31 tahun ini, semua
karya yang dihasilkannya melewati proses
yang sama. “Semuanya berawal dari hal
yang mengganggu, sesuatu yang saya
rasakan. Mungkin, karena itulah cerita-cerita
saya bisa sampai kepada penonton. Orang
merasakan hal yang saya rasakan, karena
setiap orang memiliki masalah.”
Menjadi anak tertua dari lima bersaudara
membuat Radit suka bercerita hal-hal yang
menimbulkan tawa. Saat duduk di bangku
kelas empat, Radit mulai membaca novelnovel humoris. Dari situ si Radit kecil mulai
belajar, menganalisis tokoh, jalan cerita dan
gaya menulis. Dia pun mulai mempelajari
buku-buku humor untuk anak-anak,
menuliskan ide-ide baru dalam sebuah
buku catatan untuk kemudian dia ceritakan
kepada teman-teman sekelasnya.
Begitu lulus SMU, Radit mengambil jurusan
Finance di University of Adelaide, Australia,
dan kembali untuk menyelesaikan sarjana
dalam Ilmu Politik dari Universitas Indonesia
di Jakarta. Radit pun mulai dikenal oleh para
blogger Indonesia di awal tahun 2000-an,
tetapi para penggemarnya baru mengenal
Radit tahun 2005 lewat buku pertamanya
yang berjudul, Kambing Jantan, yang
menceritakan saat-saat berada di bangku
sekolah dan kuliah. Kesuksesannya tersebut
membawanya untuk menjadi seorang
penulis, dan beberapa tahun kemudian,
Radit pun berhasil menerbitkan lima buah
novel, seperti Cinta Brontosaurus dan
Marmut Merah Jambu.
Satu per satu hal pun dilakoninya, dan
Radit merambah ke dunia film ketika
bukunya yang berjudul Kambing Jantan
dijadikan film di tahun 2009: si penulis
bermain sebagai peran utama, memerankan
dirinya sendiri. Buku hasil karyanya
yang berikut juga dijadikan film dan Radit
terus tampil berperan sebagai diri sendiri
untuk memuaskan para penggemarnya
yang kini berjumlah jutaan.
Penonton banyak menyukai film yang
dibintanginya karena kekonyolannya
saat pacaran dan kehidupan cintanya
yang kurang beruntung. Film terbarunya,
Koala Kumal, dirilis bulan Juli silam. Dalam
film ini Radit menulis sendiri jalan ceritanya
sekaligus menjadi sutradara dan juga kembali
membintangi film yang mengisahkan
pernikahan yang batal.
Pengarang sekaligus penulis skenario ini
mengasah keahliannya dalam membuat film
lewat proses yang sama. Bermula dari sejak
dia menulis, menyutradarai dan membintangi
serial di situs, Malam Minggu Miko pada 2012,
yang kemudian didapuk menjadi serial TV dan
akhirnya sebuah film. “Saya belajar membuat
film karena kebutuhan saja, pada awalnya
tak ada yang tertarik dengan Malam Minggu
Miko, jadi saya harus melakukannya sendiri,”
jelas Radit.
Sebagai pembuat film yang sedang naik
daun, Radit menganalisis film-film terkenal
hasil karya David Fincher (sutradara film
Fight Club dan Gone Girl) dan Jason Reitman,
sutradara film komedi pada serial TV The
Office. “Dari Fincher, saya belajar mengenai
caranya mengambil gambar; sementara dari
Reitman, saya belajar bagaimana membuat
film indie dengan dana terbatas.”
Radit menyebutkan penulis novel dan buku
humor berdarah Inggris Neil Gaiman serta
penulis asal Indonesia Hilman Hariwijaya
dan Dewi Lestari sebagai orang-orang
yang telah memberikan pengaruh pada
tulisannya. Menurut Radit, dia juga banyak
belajar tentang komedi dari komedian asal
Amerika seperti Louis CK dan Jerry Seinfeld.
“CK sangat jujur dengan komedi tunggalnya,
dia mampu membawakan topik-topik yang
menarik perhatiannya. Sementara komedi
yang dibawakan Seinfeld berdasarkan
hasil pengamatan dan lugas. Komedi
CK cenderung apa adanya sementara
Seinfield lebih terpoles. Saya sendiri,
mencoba mengambil yang tengah di antara
dua itu. Saya masih terus mencari.” Berbicara
mengenai individu dengan banyak talenta,
pencariannya pastilah akan membuat banyak
orang terhibur.