Garuda Indonesia Colours Magazine August 2016 | Page 78
74
Explore | Flavours
Ada emas di perbukitan
yang menghadap ke Desa Adu
di Pulau Sumbawa. Tetapi bukan
logam berat yang dikumpulkan
oleh warga lokal seperti Pak
Abidin selama lebih dari dua
dekade, melainkan sesuatu
yang bisa dibilang jauh lebih
berharga: madu hutan liar.
Saya sudah sering membeli madu di dekat
Pantai Lakey, tapi kali ini saya meminta
bantuan Pak Abidin, Ibrahim dan Sa'ban—
tiga legenda lokal yang bekerja sebagai
pemanen madu—untuk membawa
saya ke sumbernya.
Kami berangkat sebelum matahari terbit
untuk menghindari hawa panas, dan saat
kami berjalan melewati sawah hijau yang
tenang dan semak belukar berwarna kuning
tua, para pemandu menunjukkan kepada
saya awal dari proses ajaib ini. Lebah madu
Asia (Apis dorsata, atau dikenal dengan
sebutan “tawon”) berdengung tanpa henti
di sekitar bunga pamu berwarna ungu cerah
dan bunga kumbang yang berwarna cokelat
dan berbulu, mengumpulkan serbuk sari
untuk dibawa kembali ke sarang berkilokilometer di dalam hutan.
Kami mulai mendaki ke tempat di mana
Abidin tahu kami bisa menemukan
sarang lebah, dan setelah berjuang melewati
semak-semak sepanjang beberapa kilometer
dalam cuaca yang sangat panas, kami muncul
di punggung bukit dan melihat sarang lebah
besar menggantung di dahan pohon setinggi
kurang lebih 10 m. Menurut Abidin, Anda
hanya bisa menemukan sarang lebah di
tempat-tempat dengan sinar matahari
baik pada pagi ataupun sore hari, karena
itu Anda tidak akan melihatnya di tempat
yang rendah. Sarang itu berbentuk segitiga,
kira-kira seukuran bantal duduk, dan saya
langsung bertanya-tanya; bagaimana bisa
seseorang naik ke atas sana? Tanahnya
menurun curam ke lembah sementara
pepohonan tumbuh tinggi dan condong,
yang artinya dari sudut pandang saya
sarang lebah ini sejajar dengan mata.
Maka satu-satunya cara menaiki
pohon adalah dari dasarnya.
Para pemandu mulai mengumpulkan
ranting-ranting berdaun kering untuk
membuat asap untuk menenangkan lebah,
dan hanya dengan bekal ranting, pisau
berburu dan tanpa pakaian pelindung
sama sekali, Abidin memanjat pohon
dalam hitungan detik.
Setelah sampai tepat di atas sarang,
ia mengibaskan asap ke sekelilingnya saat
Setelah bersantai
dan kembali segar, kami
pergi mencari sarang
lebah kedua...
ribuan lebah muncul dan berkerumun.
Itu adalah pengalaman yang benar-benar
menakutkan—bahkan dilihat dari jarak
20 meter, tapi Abidin mengaku tidak terkena
sengatan sama sekali dan ia mulai mengiris
lapisan luar sarang lebah, menaruhnya
di ember yang menggantung di bawahnya.
Ia bekerja dengan tangkas dan tenang,
lalu menurunkan ember ke bawah sebelum
turun dari pohon secepat ia memanjat.
Kami semua mundur ke jarak aman
dan dengan penuh semangat memeriksa
hasil panen pertama kami. Abidin dengan
hati-hati memisahkan lapisan-lapisan
sarang lebah berlilin dan menuangkan
setiap tetesnya ke dalam ember yang
sekarang penuh dengan beberapa liter madu.
Rasanya luar biasa, dengan rona kuning
terang, aroma bunga dan manis alami,
mengalahkan semua madu yang pernah
saya rasakan dari supermarket. Madu ini juga
sangat baik untuk Anda, dengan kandungan
antiseptik yang dapat meredakan batuk dan
sakit tenggorokan, meningkatkan daya ingat
dan bahkan bisa digunakan untuk mengobati
luka ringan dan luka bakar.
Saya bertanya pada Abidin apakah ada
semacam produksi massal atau koperasi
masyarakat untuk pembuatan madu seperti
ini, namun ia mengatakan cuma di dekat
kota terbesar Sumbawa Besar, lebih jauh
ke arah barat, ada beberapa LSM seperti
Jaringan Madu Hutan Indonesia (JMHI)
yang mengawal dan mengatur sebagian besar
produksi madu Sumbawa sambil menjaga
keindahan alam dari lingkungan setempat.
Jaringan semacam itu tidak ada di sini, dan
seperti petani lebah lain yang jumlahnya
sangat sedikit di daerah itu, Abidin menjual
hasil panennya langsung ke beberapa klien,
dan ia sering menghabiskan waktu sampai
seminggu di hutan.
Ibrahim menuangkan madu ke dalam
botol yang lebih mudah dibawa, dengan
hati-hati agar tidak ada yang tumpah setetes
pun, dan kami beranjak lagi, jauh ke dalam
hutan menuju tempat makan siang di dekat
mata air yang indah jernih.
Setelah bersantai dan kembali segar, kami
pergi mencari sarang lebah kedua hari ini,
melintasi sungai dengan hamparan batu
yang mengalir menuruni lereng bukit,
dan akhirnya tidak sengaja melihat sarang
lebah yang posisinya bahkan lebih berbahaya
daripada yang pertama. Sekali lagi, ketiga
pria ini mempersiapkan ranting be rasap,
dan Abidin naik-turun pohon dengan
cepat, membawa beberapa liter madu lagi.
Saat senja mulai tiba, kami kembali turun
menuju desa, dan perjalanan kami dipandu
oleh azan Magrib dari masjid setempat. Tidak
lama kemudian kami tiba kembali di rumah
Abidin, dalam keadaan kotor dan kelelahan,
namun membawa timbunan madu yang
cukup bagi kami semua untuk beberapa
bulan ke depan.
Bundles of dry branches set alight
produce smoke to calm the bees.