Garuda Indonesia Colours Magazine August 2016 | Page 122

118 Travel | Brunei A proboscis monkey in the mangrove forest just outside of town. Kampong Ayer has its own schools, mosques, police stations and fire brigade. Pada awalnya, saya tidak tahu apa yang bisa saya temukan di negara kesultanan kecil yang kaya minyak, Brunei Darussalam. Selain ulasan-ulasan di internet yang menyebutkan negara ini “tidak asyik”, saya tidak punya banyak gambaran tentang destinasi saya, yang ternyata merupakan persinggahan yang sangat nyaman dalam perjalanan saya dari Sabah ke Bangkok. Setelah tiba di Bandar Seri Begawan pada larut malam, saya bangun lebih awal untuk menjelajahi kota dan mencari tahu seperti apa Brunei sesungguhnya. Melihat kota ini terbentang di hadapan saya, saya merasakan sedikit nuansa Singapura di dalamnya— bukan pusat kota Singapura seperti yang kita bayangkan, dengan gedung pencakar langit yang menjulang tinggi dan perbelanjaan mewah, melainkan pinggiran kotanya yang tenang, rapi dan bersih. Pengaruh Islam terlihat pada arsitekturnya, dengan masjid warna-warni yang mengintip di cakrawala, dan pada busana tradisional laki-laki dan perempuan yang memakai kerudung. Dari riset saya, saya memperhatikan, di antara beberapa hal yang menyebabkan saya berpikir tak banyak hal menarik di Brunei, salah satunya adalah minimnya foto orang-orang Brunei di internet. Karena itu, saya ingin bertemu dan memotret orang sebanyak mungkin. Tempat pertama yang kami singgahi adalah Masjid Jame'asr Hassanil Bolkiah, masjid terbesar di negeri ini, yang dibangun untuk memperingati 25 tahun pemerintahan Sultan. Masjid yang mengagumkan ini dilapisi blok-blok marmer besar. Namun begitu, tak diragukan lagi, landmark Brunei yang paling terkenal adalah Masjid Sultan Omar Ali Saifuddin. Elemen yang paling mencolok—selain emas berlimpah yang melapisi kubah besarnya—adalah repro dari perahu tongkang seremonial yang mengapung di perairan di depan masjid. Selesai dibangun enam dekade lalu, masjid ini terkenal di seluruh dunia sebagai simbol arsitektur Islam modern, yang menyatukan teknik Mughal dengan gaya Italia. Meski tidak mungkin mengunjungi kediaman Sultan, berjalan-jalan di museum Royal Regalia Centre memberikan sekilas gambaran menarik tentang kehidupan sang Sultan dan budaya Brunei. Tempat ini memamerkan kereta-kereta kuda dari perayaan ulang tahun perak pemerintahan Sultan, perhiasan dengan detail yang rumit dan beragam display mengenai momenmomen kunci saat penobatan Sultan, yang menjadi bagian penting dalam sejarah negara ini. Setelah berwisata di pagi hari, kami berhenti untuk makan siang dan menikmati kelezatan rendang daging sapi pedas khas Melayu dan nasi lemak gurih di restoran setempat, kemudian lanjut menuju pasar—yang menjual sayuran segar, buah, dan ikan-ikan kering. Saya selalu mencari pasar sebagai tempat yang menyenangkan untuk bertemu dengan penduduk setempat, tak terkecuali kali ini. Para pedagang dan pembeli di sini sangat ramah, dengan senyuman lebar dan tak ada pedagang yang menyodor-nyodorkan barang seperti yang sering Anda temui di pasar-pasar lain yang ramai wisatawan. © Milosz Maslanka / Shutterstock; © Jay Tundall; © Annette Lozinski / Alamy Stock Photo All the water village buildings are constructed on stilts above the Brunei River.