Garuda Indonesia Colours Magazine April 2018 | Page 80
78
Explore | Flavours
1
Banda Neira terletak di
antara 10 pulau kecil
vulkanik tropis yang
tersebar di Laut Banda,
tenggara Kota Ambon.
Cara paling mudah menuju Banda Neira
adalah lewat jalur laut, sebaiknya ketika fajar,
mengikuti rute jalur perdagangan kuno.
Setelah berlayar dari Ambon di atas sunyinya
gelombang laut dalam, Anda akan dibawa
memasuki pelabuhan berpanorama indah,
di bawah bayang gunung api yang menjulang.
Dengan pegunungan yang dipenuhi
pepohonan pada lerengnya, halimun
bernuansa kebiruan dan lapisan kabut tipis
perlahan terurai seiring laju lembut kapal
memasuki kota kecamatan yang senyap.
Sejarah legendaris dari Kepulauan Rempah,
Perjanjian Breda yang mengakibatkan tukar
guling antara Pulau Rhun (pulau tetangga
Banda Neira) dengan Manhattan dan
perdagangan bulu hewan oleh Belanda,
hanya makin menambah rasa penasaran.
Saya pun tiba kali ini dengan diantar
Kurabesi Explorer, nama dari sebuah kapal
pinisi terbuat dari kayu jati, yang menjadikan
perjalanan saya terasa sangat istimewa.
Keindahan alam, kekayaan sejarah dan warisan masa lalunya
yang hidup berdampingan dengan modernitas merupakan
pesona Banda Neira yang membuat saya kagum.
Di pulau yang terlupakan ini, sejarah
berubah selamanya, hanya karena pala.
Lewat perburuan rempah yang banyak
diincar inilah sistem perdagangan
modern lambat laun terbentuk.
Banda Neira terletak di antara 10 pulau
kecil vulkanik tropis yang tersebar di Laut
Banda, tenggara Kota Ambon. Walau sering
tak tampak namanya dalam peta, pelabuhan
yang tenang ini dahulu pernah menjadi
sebuah dermaga penting, dan kotanya sendiri
menjadi pusat perdagangan sekaligus markas
kongsi dagang Perusahaan Hindia Timur
Belanda (atau dikenal dengan VOC).
Selama lebih dari 3.000 tahun, para pedagang
dari kawasan Arab dan Tiongkok telah
melakukan barter dengan masyarakat Banda
untuk rempah-rempah dan barang berharga
lainnya, di mana kemewahan pala tetap
menjadi daya tarik utamanya. Sebelum
Masehi, pala sudah mencapai Tiongkok dan
India, dan sekitar 500 M pala sudah sampai
di Mediterania. Pada abad ke-14, pala telah
mengisi meja makan para aristokrat Eropa,
sementara pada abad ke-15, satu pon pala di
Jerman senilai dengan tujuh lembu gemuk.
Hal ini tentulah memukau bangsa Venesia,
yang dengan perantaraan para pedagang
Arab, menjual pala sebagai rempah-rempah,
bahan pewangi, afrodisiak dan obat dengan
harga yang sangat tinggi. Orang-orang Eropa
yang penasaran akan tempat rahasia
penghasil pala akhirnya masuk juga dalam
perburuan rempah idaman ini setelah tahun
1500-an, terdorong keinginan menaklukkan
pasar. Bangsa Belanda memulai ekspansinya
di Indonesia tahun 1600-an dan Kepulauan
Banda menjadi pusat perdagangan pala dunia
dan salut biji pala atau fuli hingga abad ke-19.
Histeria akan pala di masa lalu memang sulit
untuk dipahami. Tapi pastinya, pala memiliki
aroma khusus yang menawan dengan bentuk
yang menarik. Selain sebagai perisa makanan
dan pengawet, pala juga terkenal sebagai
afrodisiak yang selalu dicari-cari. Pala malah
pernah dijadikan jimat penolak wabah
penyakit yang mematikan, Black Death, yang
terjadi pada masa keemasan Ratu Elizabeth.
Potongan kecil pala dikalungkan di leher
sebagai jimat untuk melindungi diri dari
penyakit yang mewabah. Siapa tahu pala
memang manjur untuk itu.
Pala sendiri merupakan biji buah, dengan
nama Latin Myristica fragrans, yang memiliki
pohon besar berdaun hijau. Dengan ukuran
kira-kira sebesar aprikot, pala memiliki
tekstur permukaan yang keras, dan rasa
daging buah yang mirip pedasnya jahe.
Fulinya berwarna merah mengilap seperti
jala dan melekat erat pada cangkang biji pala
hingga tampak bekasnya saat fuli dilepaskan.
Di Banda Besar, saya diperlihatkan pala
dengan fuli berwarna putih dan ternyata ada
lima jenis pala di daerah ini. Sementara di
Pulau Rhun yang sangat kecil ini, saya melihat
sebuah pohon berusia 300 tahun dan banyak
pohon lainnya dengan usia minimal 100
tahun. Pohon-pohon tersebut ditanam secara
tradisional di bawah naungan pohon kenari