Cakrawala Edisi 423 Tahun 2014 | Page 71

esselon tertentu. Bahkan dalam UU ASN tersebut ditawarkan pada jabatan tertentu dapat dijabat oleh prajurit TNI dan Polri. Perkembangan politik hukum administrasi telah melahirkan forum-forum diskusi, termasuk kajian pengaturan tentang keberadaan PNS dalam organisasi TNI yang secara de jure merupakan PNS Kemhan kini telah mencapai titik temunya, bahwa PNS yang sejak tahun 1974 telah bekerja dilingkungan TNI tersebut yang pada awalnya ditugaskan sebagai perbantuan administrasi hingga sebagai juru mesin pada kapal-kapal perang, kini telah mempunyai landasan yang dapat dimengerti. UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI yang dalam batang tubuhnya (Pasal 46 ayat 1) mengatur tentang jabatanjabatan tertentu dalam organisasinya dapat diduduki PNS, telah bersambut dengan UU ASN yang menyatakan dengan tegas dalam Pasal 20 (ayat 2) bahwa TNI maupun Polri dapat juga menduduki jabatan-jabatan tertentu dalam kementerian dan lembaga sipil negara. Dengan demikian pemahaman akan aparatur negara bermuara pada pemahaman yang lebih makro sebagai unsur aparatur yang terdiri dari TNI, Polri, PNS dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang bersama-sama menjalankan politik negara dan tujuan negara sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya masing-masing. Dari premis-premis tersebut maka dapat dirumuskan konklusinya, bahwa keberadaan PNS dalam organisasi TNI dan sebaliknya telah sesuai konstitusi yang berlaku. Peran dan tanggung jawab jabatan PNS dalam organisasi TNI khususnya, sampai dengan saat ini telah mendapat apresiasi dari pimpinan TNI dan diakui bahwa kontribusinya telah dapat dirasakan dan harus terus ditingkatkan agar mampu mengemban tugas lebih baik lagi. Menjawab tantangan tersebut PNS dengan Korprinya bertekad terus berupaya lebih baik lagi sesuai dengan profesinya masing-masing. Pada 29 November 2014, Korpri genap berusia 43 tahun. Jika dianalogikan dengan kehidupan manusia, rentang usia tersebut bisa dibilang masih cukup muda. Usia yang identik dengan idealisme, tetapi tak jarang gampang tersulut emosi dan tensi tinggi. Wadah non-kedinasan bagi pegawai yang dibentuk berdasarkan Keppres Nomor 82 Tahun 1971 ini warisan rezim Orde Baru dinilai makin eksis berkiprah di tengah riuhnya dinamika zaman. Korpri dinilai cukup berhasil dalam melakukan pembinaan dan penggalangan eksternal secara total dan intens kepada para anggotanya. Meskipun demikian, secara umum jujur harus diakui, masih banyak masalah krusial yang belum teratasi, masih banyak agenda penting yang luput dari perhatian. Dalam rentang usia yang belum bisa dibilang “dewasa”, Korpri dituntut untuk bisa bersikap arif dan dewasa dalam menangani masalah-masalah yang muncul maupun menyikapi kritik yang mencuat. Ibarat sosok pemuda, Korpri harus sanggup memanggul beban idealisme di tengah-tengah tantangan zaman yang semakin berat. Upaya meningkatkan bobot dan mutu pengabdian pegawai demi terciptanya aparatur pemerintah yang bersih dan berwibawa “harus” menjadi agenda yang urgen dan penting untuk digarap. Kondisi tersebut diperparah dengan munculnya “oknum” pegawai yang bermental korup, sehingga tak segan-segan menyalahgunakan jabatan dan wewenangnya untuk melakukan korupsi, manipulasi, kolusi, dan sederet ulah tak jujur lainnya yang merugikan kepentingan publik. Jika kondisi semacam itu dibiarkan berlarut-larut, jelas membuat citra PNS merosot. Dalam keadaan demikian, Korpri harus semakin mempertajam visi dan misinya dalam menegakkan disiplin pegawai, mengakarkan roh spiritual ke dalam nurani setiap pegawai, dan meningkatkan profesionalisme pegawai dalam menjalankan tugasnya agar lebih bermutu dan berbobot. Ada tiga agenda penting yang perlu dilakukan oleh Korpri dalam upaya meningkatkan mutu dan bobot pelayanan publik yang mesti disosialisasikan secara gencar kepada segenap jajaran warga Korpri. Pertama, meningkatkan keterampilan profesional pegawai. Entitas profesionalisme akan tampak pada sosok pegawai yang cekatan dan terampil mengemban tugasnya di lapangan. Upaya merekrut calon pegawai hendaknya lebih diperketat melalui uji keterampilan yang selektif sesuai bidangnya masing-masing, sehingga tidak lagi merasa “gagap” setelah menyentuh tugasnya di lapangan. Upaya ini mesti didukung oleh kinerja dunia pendidikan yang mampu menghasilkan out-put yang memiliki basis kognitif, afektif, dan psikomotorik andal. Kedua, mengekstensifkan dan mengintensifkan wawasan pegawai. Sebagai salah satu “pilar” pembangunan, tugas rutin pegawai di lapangan akan semakin “afdol” jika ditunjang dengan wawasan dan visi yang luas. Upaya memberikan kesempatan belajar dan pemberian beasiswa studi lanjut bagi para pegawai yang potensial perlu lebih digalakkan. Selain itu, setiap pegawai hendaknya memiliki hasrat belajar secara simultan dan berkelanjutan, baik lewat buku maupun kehidupan, untuk lebih meningkatkan aktualitas diri sesuai bidang tugas yang digelutinya. Ketiga, mempertinggi integritas kepribadian pegawai. Munculnya mentalitas korup dan tidak jujur yang dibingkai kepentingan dan pamrih sempit, boleh jadi lantaran keringnya integritas kepribadian, sehingga merasa tak berdosa ketika melakukan setumpuk dosa dan penyimpangan moral. Sisi lain yang penting dicerm