esselon tertentu. Bahkan dalam UU ASN tersebut ditawarkan
pada jabatan tertentu dapat dijabat oleh prajurit TNI dan Polri.
Perkembangan politik hukum administrasi telah melahirkan
forum-forum diskusi, termasuk kajian pengaturan tentang
keberadaan PNS dalam organisasi TNI yang secara de jure
merupakan PNS Kemhan kini telah mencapai titik temunya,
bahwa PNS yang sejak tahun 1974 telah bekerja dilingkungan
TNI tersebut yang pada awalnya ditugaskan sebagai perbantuan
administrasi hingga sebagai juru mesin pada kapal-kapal perang,
kini telah mempunyai landasan yang dapat dimengerti.
UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI yang dalam
batang tubuhnya (Pasal 46 ayat 1) mengatur tentang jabatanjabatan tertentu dalam organisasinya dapat diduduki PNS,
telah bersambut dengan UU ASN yang menyatakan dengan
tegas dalam Pasal 20 (ayat 2) bahwa TNI maupun Polri dapat
juga menduduki jabatan-jabatan tertentu dalam kementerian
dan lembaga sipil negara. Dengan demikian pemahaman akan
aparatur negara bermuara pada pemahaman yang lebih makro
sebagai unsur aparatur yang terdiri dari TNI, Polri, PNS dan
Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang
bersama-sama menjalankan politik negara dan tujuan negara
sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya masing-masing. Dari
premis-premis tersebut maka dapat dirumuskan konklusinya,
bahwa keberadaan PNS dalam organisasi TNI dan sebaliknya
telah sesuai konstitusi yang berlaku.
Peran dan tanggung jawab jabatan PNS dalam organisasi
TNI khususnya, sampai dengan saat ini telah mendapat
apresiasi dari pimpinan TNI dan diakui bahwa kontribusinya
telah dapat dirasakan dan harus terus ditingkatkan agar mampu
mengemban tugas lebih baik lagi. Menjawab tantangan tersebut
PNS dengan Korprinya bertekad terus berupaya lebih baik lagi
sesuai dengan profesinya masing-masing.
Pada 29 November 2014, Korpri genap berusia 43 tahun.
Jika dianalogikan dengan kehidupan manusia, rentang usia
tersebut bisa dibilang masih cukup muda. Usia yang identik
dengan idealisme, tetapi tak jarang gampang tersulut emosi dan
tensi tinggi. Wadah non-kedinasan bagi pegawai yang dibentuk
berdasarkan Keppres Nomor 82 Tahun 1971 ini warisan rezim
Orde Baru dinilai makin eksis berkiprah di tengah riuhnya
dinamika zaman. Korpri dinilai cukup berhasil dalam melakukan
pembinaan dan penggalangan eksternal secara total dan intens
kepada para anggotanya.
Meskipun demikian, secara umum jujur harus diakui, masih
banyak masalah krusial yang belum teratasi, masih banyak
agenda penting yang luput dari perhatian. Dalam rentang usia
yang belum bisa dibilang “dewasa”, Korpri dituntut untuk bisa
bersikap arif dan dewasa dalam menangani masalah-masalah
yang muncul maupun menyikapi kritik yang mencuat. Ibarat
sosok pemuda, Korpri harus sanggup memanggul beban
idealisme di tengah-tengah tantangan zaman yang semakin
berat. Upaya meningkatkan bobot dan mutu pengabdian
pegawai demi terciptanya aparatur pemerintah yang bersih dan
berwibawa “harus” menjadi agenda yang urgen dan penting
untuk digarap.
Kondisi tersebut diperparah dengan munculnya “oknum”
pegawai yang bermental korup, sehingga tak segan-segan
menyalahgunakan jabatan dan wewenangnya untuk melakukan
korupsi, manipulasi, kolusi, dan sederet ulah tak jujur lainnya
yang merugikan kepentingan publik. Jika kondisi semacam itu
dibiarkan berlarut-larut, jelas membuat citra PNS merosot.
Dalam keadaan demikian, Korpri harus semakin mempertajam
visi dan misinya dalam menegakkan disiplin pegawai,
mengakarkan roh spiritual ke dalam nurani setiap pegawai, dan
meningkatkan profesionalisme pegawai dalam menjalankan
tugasnya agar lebih bermutu dan berbobot.
Ada tiga agenda penting yang perlu dilakukan oleh Korpri
dalam upaya meningkatkan mutu dan bobot pelayanan publik
yang mesti disosialisasikan secara gencar kepada segenap
jajaran warga Korpri. Pertama, meningkatkan keterampilan
profesional pegawai. Entitas profesionalisme akan tampak
pada sosok pegawai yang cekatan dan terampil mengemban
tugasnya di lapangan. Upaya merekrut calon pegawai
hendaknya lebih diperketat melalui uji keterampilan yang
selektif sesuai bidangnya masing-masing, sehingga tidak lagi
merasa “gagap” setelah menyentuh tugasnya di lapangan.
Upaya ini mesti didukung oleh kinerja dunia pendidikan yang
mampu menghasilkan out-put yang memiliki basis kognitif,
afektif, dan psikomotorik andal. Kedua, mengekstensifkan dan
mengintensifkan wawasan pegawai. Sebagai salah satu “pilar”
pembangunan, tugas rutin pegawai di lapangan akan semakin
“afdol” jika ditunjang dengan wawasan dan visi yang luas. Upaya
memberikan kesempatan belajar dan pemberian beasiswa studi
lanjut bagi para pegawai yang potensial perlu lebih digalakkan.
Selain itu, setiap pegawai hendaknya memiliki hasrat belajar
secara simultan dan berkelanjutan, baik lewat buku maupun
kehidupan, untuk lebih meningkatkan aktualitas diri sesuai
bidang tugas yang digelutinya.
Ketiga, mempertinggi integritas kepribadian pegawai.
Munculnya mentalitas korup dan tidak jujur yang dibingkai
kepentingan dan pamrih sempit, boleh jadi lantaran keringnya
integritas kepribadian, sehingga merasa tak berdosa ketika
melakukan setumpuk dosa dan penyimpangan moral.
Sisi lain yang penting dicerm