bangsa, yaitu: 1)
Sumpah
Pemuda
1928; 2) Proklamasi
17 Agustus 1945
dan UUD 1945; 3)
Deklarasi
Djuanda
1957.
Tiga
pilar
itulah yang berhasil
menyatukan seluruh
bangsa Indonesia dan
membentuk Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia, tanpa ada
saling mendominasi
atau
diskriminasi.
Dengan memahami
ketiga pilar tersebut
melalui
aspek
kesejarahan, bangsa
Indonesia akan tampil
sebagai bangsa dengan
karakter kebangsaan
meskipun terdiri dari
banyak suku, etnis,
agama, dan budaya.
Pasukan-pasukan Resimen VI/IX sedang berlatih dengan meriam anti tank (1948).
Sebuah Renungan
Jika menyimak poin dalam tiga pilar persatuan bangsa
dan pidato “Jas Merah”, dapat disimpulkan bahwa
sejarah merupakan kekuatan tersembunyi yang mampu
memperkokoh ketahanan nasional negara Indonesia.
Kesadaran inilah yang melandasi Komodor Josaphat
Soedarso, Deputy KSAL, untuk merintis pembentukan
Seksi Sejarah AL dan Kemaritiman pada tanggal 10
November 1960. Di tengah-tengah berbagai keterbatasan
saat itu, Jos Soedarso mengharapkan ALRI dapat menjadi
ujung tombak dalam pembangunan spirit kemaritiman
dan karakter bangsa serta menjaga keutuhan negara
melalui fungsi kesejarahan. Beliau menyadari bahwa ALRI
memiliki banyak potensi yang dapat dijadikan sebagai
teladan dalam membentuk karakter bangsa sekaligus untuk
mempertahankan keutuhan kesatuan dan persatuan bangsa.
Selain itu, melalui data kesejarahan TNI AL juga dapat
mengkaji berbagai riwayat operasinya baik yang berhasil
maupun gagal sebagai bahan evaluasi untuk kepentingan
operasi-operasi di masa mendatang.
Sebagaimana kata pepatah: “Belajarlah dari sejarah
agar menjadi bijaksana dan cerdas”. Dengan demikian,
seseorang tidak akan mengulangi kesalahan atau kekeliruan
yang pernah terjadi di masa lampau dalam melangkah
menuju masa depan. Patut juga direnungkan, mengapa
seorang kandidat kepala negara dari negara-negara besar
seperti Amerika Serikat, Kerajaan Inggris, dan Jepang
menjadikan pemahaman terhadap sejarah sebagai salah
satu kriteria utamanya. Mungkin saat melancong ke
mancanegara, seseorang dengan leluasa dapat menjumpai
berbagai museum dan situs sejarah yang ditata sedemikian
rupa sehingga menjadi media edukasi yang informatif bagi
semua kalangan. Hal tersebut merupakan cerminan dari
bangsa yang maju dan modern namun tetap melestarikan
budaya dan tradisinya serta tidak mengulangi kesalahan
di masa lalu. Seandainya semua itu terwujud di Indonesia,
mungkin kegiatan dan pemikiran separatis atau permusuhan
berbau SARA lainnya dapat dieliminir, karena masingmasing pihak menyadari bahwa negara ini tidak dibangun di
atas pondasi milik kelompok tertentu.
Ingatlah, bagaimana para pemuda dari berbagai latar
belakang bersumpah menjadi bangsa Indonesia pada tahun
1928, lalu simaklah penjelasan dalam UUD 1945 yang
menyebutkan dasar negara Indonesia, serta bagaimana
Deklarasi Djuanda 1957 dikumandangkan demi menyatukan
seluruh tanah air Indonesia. Negara Indonesia dibangun di
atas harapan semua kelompok, suku dan etnis yang hidup
di bumi Nusantara ini untuk hidup bersama dalam satu
negara (one nation) yang merdeka dan berdaulat demi
mewujudkan kemajuan serta kemakmuran bersama dengan
mengedepankan semangat persatuan dan toleransi. Semua
ini tidak akan pernah dapat dipahami tanpa memahami
sejarah perjalanan bangsa secara utuh serta komprehensif.
Inilah inti sari pokok dari pidato “Jas Merah” Presiden
S