Foto diambil dari karya M. Sochieb
kelompok Herio Suparlan pun turut serta ke dalam aksi
penyerbuan tersebut, karena posisi mereka menginap
saat itu di daerah Ngemplak hanya berjarak sekitar 100
meter dari lokasi pertempuran. Pada pukul 11.00 hari
itu, kelompok Herio Suparlan ikut bertempur melawan
tentara sekutu dengan maksud mengusir tentara sekutu
dari daerah Jembatan Merah. Hingga pada sekitar pukul
16.00, sebuah mobil patroli berkeliling sambil meminta
agar dilakukan gencatan senjata, namun para pemuda
pejuang sukarelawan menembaki mobil tersebut, hingga
terjadi baku tembak dan menyebabkan pemimpin
kelompok pemuda pejuang yang bernama Umar Arief
tertembak serta mengalami luka yang cukup parah,
namun akhirnya dapat segera diselamatkan. Yang
mengejutkan, sebaliknya ternyata para pemuda pejuang
telah berhasil menggranat dan menewaskan salah satu
jenderal sekutu, yang dua hari kemudian diketahui
bernama Jenderal Mallaby.
Gencatan senjata pun akhirnya terwujud setelah
mengetahui bahwa mobil patroli tersebut berisikan
tentara gabungan dari pemerintah Indonesia yang berada
di Surabaya bersama tentara sekutu. Namun tentara
sekutu mengeluarkan ultimatum dan memerintahkan
agar seluruh pemuda pejuang sukarelawan menyerahkan
seluruh senjata selambat-lambatnya pada tanggal
10 November 1945, jam 18.00, bila tentara sekutu
menemukan pemuda pejuang sukarelawan yang masih
memegang senjata akan ditembak mati. Hal ini justru
membuat para pemuda pejuang sukarelawan marah,
karena untuk mendapatkan senjata-senjata itu tidaklah
mudah, mereka harus berjuang bersusah payah dengan
resiko bertumpah darah, sementara dengan seenaknya
tentara sekutu meminta menyerahkannya. Merasa
harkat martabat bangsa diinjak-injak mereka terus
mengadakan penyerbuan melawan sekutu, hingga
terjadi pertempuran di beberapa daerah di Surabaya,
selanjutnya peristiwa itu menjadi lebih dikenal dengan
peristiwa “Surabaya Lautan Api”.
Pada saat pertempuran di Jembatan Merah kelompok
pemuda pejuang sukarelawan dimana Herio Suparlan
bergabung hanya berjumlah 30 orang, mereka hanya
memegang 12 pucuk senjata, itupun hasil rampasan