Cakrawala Edisi 423 Tahun 2014 | Page 14

OPINI 14 K Berkaca dari Filosofi Nakhoda ecenderungan degradasi kepemimpinan nasional yang ditandai dengan banyaknya kalangan eksekutif dan legislatif yang terjerat berbagai kasus yang seharusnya tabu dilakukan seorang pemimpin menjadi indikator adanya krisis kepemimpinan di negeri ini. Ada baiknya kita menyimak filosofi nakhoda secara tradisional yang ternyata sarat akan konten kepemimpinan yang dibutuhkan untuk memimpin Indonesia. Istilah nakhoda memang tidak asing bagi komunitas maritim di mana pun di dunia, yang merujuk pada jabatan pemimpin utama di kapal atau kapten kapal yang menentukan arah dan bertanggung jawab penuh atas operasional dan keselamatan pelayarannya. Kata nakhoda sebenarnya berasal dari Bahasa Persia kuno yang diserap oleh Bahasa Sansekerta dan Bahasa Melayu. Dalam kitab-kitab sastra zaman kerajaan Hindu Budha terutama Sriwijaya dan Majapahit, kata nakhoda sering disebut sebagai orang yang berpengaruh besar dalam kegiatan pelayaran dan memiliki status sosial yang cukup tinggi di tengah masyarakat. Banyak nakhoda yang juga sebagai pemilik kapal atau juragan kapal. Di kawasan Indonesia Timur, nakhoda sering disebut sebagai kapitan perahu. Dalam kitab-kitab Melayu pada masa sesudah dua kerajaan besar itu, nakhoda banyak ditampilkan sebagai tokoh sentral dalam sebuah cerita seperti hikayat Nakhoda Asyiq yang dihubungkan dengan pendirian Kasultanan Palembang dan Hikayat Nakhoda Ragam yang terkait erat dengan eksistensi Kasultanan Brunei. Eksistensi nakhoda diabadikan dalam lagu Lancang Kuning yang menggambarkan sosok nakhoda yang menentukan hidup mati kapal beserta awaknya. Ternyata makna filosofi nakhoda sangat dalam bila dikaitkan dengan pencarian sosok pemimpin yang ideal. Nakhoda bermakna kompetensi, integritas, manajeman, dan tanggung jawab. Dalam masyarakat maritim tradisional penentuan nakhoda membutuhkan proses rumit tetapi terbuka dan demokratis. Penentuan nakhoda bukan didasarkan dari keturunan atau asal usul feodal namun berangkat dari proses kompetensi yang cukup panjang dan berjenjang hingga masyarakat memberikan kepercayaan sebagai nakhoda. Masyarakat maritim tradisional menentukan secara terbuka pribadi-pribadi mana yang nantinya ditunjuk menjadi pemimpin kapal berdasarkan kinerja, prestasi dan perilaku dari jenjang posisi yang dijalani pribadi-pribadi itu. Sebaliknya pribadi-pribadi calon pemimpin kapal ini juga memahami betul kondisi fisik kapal yang menjadi medan kehidupannya, interaksi sosial para awaknya, dan berbagai dinamika yang terjadi di dalam setiap pelayarannya beserta cara mengatasi permasalahan yang ditimbulkan dari dinamika itu. Dari sinilah masyarakat memberikan penilaian terhadap orang-orang yang kelak menjadi para pemimpin di kapal. Penentuannya pun dilakukan secara demokratis melalui kesepakatan bersama yang kesemuanya berdasarkan ukuran kompetensi calon-calon itu. Nakhoda harus memiliki visi ke depan yang digambarkan dalam kemampuannya menentukan jalur pelayaran yang akan dilaluinya. Dia juga memperkirakan perubahan cuaca, daya dukungan logistik kapal, dan menentukan di mana kapal tersebut harus singgah di pelabuhan untuk mengisi perbekalan pelayaran. Meskipun memiliki kewenangan yang luas nakhoda tetap menggunakannya secara terukur. Hal yang pasti adalah nakhoda tidak akan melakukan korupsi terhadap logistik pelayarannya karena pengurangan perbekalan akan mengandung resiko kegagalan kapal menuju tujuannya. Pelajaran yang satu inilah yang tepat diimplementasikan di negara kita saat ini. Para pemimpin korup tidak menyadari tentang potensi kegagalan dari tujuan atau minimal terhambatnya tujuan program dari institusi yang dipimpinnya