An Ode: Shadow - A Seventeen Anthology | Page 98

menggengam tangan arwah adik perempuannya yang tewas tenggelam ketika masih kecil. Seungkwan tersenyum lebar menemui neneknya lagi bersama kedua orangtuanya. Hansol dan adik perempuannya memainkan si arwah kura-kura di pundaknya, mengajak Seokmin yang masih ketakutan untuk ikut bermain. Arwah kucing Wonwoo melingkari kakinya, mendengkur minta dimanja. Wonwoo mengang- katnya lalu mengarahkannya pada Jihoon. “Ini,” di belakang Jihoon, ia melihat orangtua Jihoon tergopoh-gopoh menghampiri anak lelakinya. “Buat apa?” Jihoon mengernyit. “Aku mau kalian temenan.” Wonwoo tersenyum ketika Jihoon, masih mengernyit, menerima kucing itu dalam pelukann- ya. Ia berbalik ketika ibunya membombardirnya dengan pertanyaan dan usapan penuh sayang, sedangkan ayahnya mengacak rambutnya, sedikit memarahi anak semata wayang mereka agar jangan lagi membuat ibunya khawatir begitu. Jihoon hanya tersenyum kecil sebelum mengangguk. Hari itu tanggal 31 Oktober. Malam tanpa awan di mana bintang berkerlap-kerlip. Ketika makhluk-makhluk penyimpan dendam kalah oleh mereka yang disayangi dan menyayangi orang-orang yang mereka tinggalkan. Ketika penyesalan tidak akan pernah menang dari kerelaan. Ketika cinta menolong nyawa yang hidup dari angkara si mati. “Hei, lihat…,” anak-anak sekolah yang bersembunyi di rumah pun mengintip dari jende- la-jendela yang terbuka, terlalu terpukau untuk ketakutan oleh pemandangan yang mustahil terjadi. Para warga jalan pertokoan berpesta pora bersama para arwah. Suami, istri, ayah, ibu, kakak, adik, anak, cucu, nenek, kakek, teman, pacar, hewan peliharaan… semua yang bernyawa dan pernah menjadi bagian dari kehidupan mereka. Mereka tertawa, menangis, menari dan memeluk. Perayaan Halloween yang tiada duanya. *** Seperti semua kisah dimulai, maka semua kisah tentu harus diakhiri. Malam pun berubah menjadi pagi. Ketika semburat sinar mentari pertama menyinari jalan pertokoan, para arwah berhenti berpesta. Kemudian, salam perpisahan ditukarkan. Kecupan di pipi. Tangis yang turun lagi. Pelukan yang tak sudi dilepas. Jari-jemari yang baru terpisah di ujung. Mereka berjalan satu per satu menuju satu-satunya tempat mereka kembali tertidur lelap. Kuil keluar- ga Jeon merangkap kuburan kota itu. “Jaga ibumu…,” ayah Joshua mengelus pipi anak lelakinya, mengecup ujung hidung istrinya,