An Ode: Shadow - A Seventeen Anthology | Page 91

“Emangnya ada apaan sih?” “Aku juga nggak begitu paham, tapi ada makhluk-makhluk, Hoon.” “Makhluk-makhluk?” Seungcheol mengangguk penuh semangat. “Hantu, mungkin. Setan. Aku juga nggak bisa nyebut mereka apa. Pokoknya serem.” Alis Jihoon agak terangkat, seakan ia tertarik akan topik ini. “Oh ya?” ucapnya. “Tapi harus- nya nggak serem kan? Palingan juga arwah-arwah lama. Kuburan di kota ini cuma ada satu dan isinya nenek moyang kita.” Sengaja ia menatap Wonwoo, yang dibalas langsung oleh anak itu. “…,” Wonwoo membetulkan letak kacamatanya. “Nggak juga. Nggak semua orang-orang itu meninggal dengan tenang, Ji. Lebih sering menyesal, malah, dan penyesalan ini…” Wonwoo berhenti bicara saat ia sadar ia jadi pusat perhatian. Jalanan kini tidak lagi terisi mereka dan peserta semata. Para warga juga mengalir keluar setelah mendengar penjelasan bercampur kepanikan dari mereka semua. Percaya tak percaya, mereka siap melindungi anak-anak itu. “Penyesalan ini… kenapa, Won?” Jihoon menyipitkan sebelah mata. Wonwoo mengedikkan bahu, sebelum ia menatap Jihoon lekat. Menantangnya. “Penyesalan ini bermanifestasi menjadi makhluk-makhluk yang, katakanlah, tidak terlalu menyenangkan untuk ditemui,” ia mengucapkan kalimat itu lambat-lambat, memastikan semua orang, terutama Jihoon, menangkapnya. “Dan tidak ada yang lebih menyenangkan bagi mereka selain merobek daging dan meminum darah kalian.” “Won!” Soonyoung menyikut sahabatnya, namun Wonwoo bergeming. “Terserah kalau kalian tidak percaya,” ia membenarkan kacamatanya lagi. “Tapi itulah akhir dari manusia yang meninggal dengan penyesalan, menjadi seonggok makhluk yang mem- balas dendam, iri, pada mereka yang masih hidup.” Suasana senyap untuk sesaat. “Kalau yang nggak menyesal…,” Jihoon meneguk ludah. Terkejut oleh pertanyaannya sendi- ri. “…gimana?” Wonwoo balik memandangnya, lama, sebelum sebuah senyuman kecil mengembang di wajahnya. “Kura-kura Hansol.” Ia menunjuk makhluk di pundak si anak. “Anjing piaraan Mingyu.” Lalu ke makhluk dalam pelukan Mingyu. “Kudengar Seungkwan ketemu nenek- nya, memeluknya penuh rindu, masih tetap hangat dan lembut seperti dulu, katanya.”