An Ode: Shadow - A Seventeen Anthology | Page 90

Dan hanya butuh waktu tiga detik untuk otaknya berteriak ‘lari!’ dan kakinya menuruti. *** “Kalian semua sudah di sini?!” “Gimana para peserta?!” “Hei, lihat, gengs, ini kura-kura yang aku certain dulu itu lho~” Jun memutar bola mata. Memang Hansol tidak ada duanya dalam divisi Tidak Bisa Membaca Situasi. Tetapi, melihat wajah ceria anak itu, ia tidak mengucapkan apa-apa, hanya menepuk perlahan pundaknya. Jun memandang mereka yang ada di sana. Trio yang paling tua—Seungcheol, Jeonghan, Joshua—bergerak gesit membagi tugas untuk mengamankan para peserta. Mereka mengetuk pintu tetangga mereka, meminta tumpangan menginap untuk malam ini. Anak-anak yang lebih muda membantu mereka bertiga, membawa teman-teman sekolah mereka ke berbagai toko. Tentu tidak luput toko rangkap rumah mereka sendiri. Malam sudah larut. Wajar jika ketukan pintu mereka tidak langsung dibuka. Para penghuni jalan pertokoan segera membuka pintu ketika dilihatnya siapa yang mengetuk dan menyuruh anak-anak itu masuk sebanyak yang rumah mereka bisa tampung. Yang tidak muat, dipindah- kan ke rumah berikutnya. Ketiga belas anak lelaki itu bergerak efisien. Tidak perlu berebut ucapan siapa yang harus dituruti. Tidak perlu bertengkar yang tidak perlu. Masing-masing bagai tahu tugasnya. Seungkwan dan Seokmin tidak bisa membantu banyak, karena mereka- lah yang paling ketakutan. Apalagi, nenek Seungkwan mendadak lenyap ketika ia masih menangis memeluknya. Soonyoung meraup leher bagian belakang kedua anak lelaki itu dan menarik kening mereka bersandar ke sisi kepalanya, mencoba menenangkan tangis keduan- ya. Wonwoo yang pertama mengernyit, menyadari satu hal. “Jihoon nggak ada.” Seungcheol mengangkat kepala. Refleks, ia menghitung jumlah para panitia. Wonwoo benar. Jihoon tidak ada. Ia hendak bergerak, kembali ke kegelapan malam demi menemukan anak lelaki itu, ketika dari balik sebuah belokan, Jihoon muncul. “JIHOON!” Seungcheol memanggilnya. Jihoon, kaget, menoleh. “SINI! KAMU KE MANA AJA SIH?!” Jihoon memandang Seungcheol, menunduk menatap sepatunya, lalu tersenyum kecil. Ia berlari menghampiri kumpulan tersebut. “Di luar sana bahaya! Kita harus tetap bersama-sa- ma!” Seungcheol mengacak rambut pirang platina Jihoon. Kelegaan nyata terpampang di wajahnya. “Ayo, kamu bantu yang lain! Anak-anak ini harus kita amanin.”