An Ode: Shadow - A Seventeen Anthology | Page 88

Lee Jihoon menonton itu semua dari tempatnya berdiri di balik tiang listrik. Tersenyum lemah, ia memutar tumit dan berjalan menjauh. *** Menit-menit berlalu. Pintu yang diketuk hampir tak terhitung lagi. Tas blacu yang mereka bawa sedikit demi sedikit terisi penuh oleh aneka makanan dan minuman. Kaki mereka sudah mulai letih. Tidak sedikit yang memutuskan untuk beristirahat sejenak sambil mencemili kudapan yang mereka dapatkan. Beberapa bahkan mengucek mata serta menguap lebar. Euforia pesta serta perjalanan panjang menyusuri jalan pertokoan sukses menimbulkan kantuk. Adalah Wonwoo yang pertama menyadari sebuah keganjilan. Ia sedang duduk di pinggir jalan, menemani kelompok yang ia bawa sambil mengobrol ngalor-ngidul, ketika ia melirik ke jalanan di belakang kepala lawan bicaranya dan melihat sesuatu…seekor, tepatnya. Seekor kucing meloncat dari tembok ke jalan, menapak dengan santai, hampir-hampir elegan. Bulu- nya pendek berwarna abu-abu dan matanya biru terang. Kucing itu mendekat, memandang Wonwoo balik, lalu mengeong. Wonwoo mengerjap beberapa kali. Ia tahu kucing itu. Kenal, bahkan. Tidak mungkin salah membedakan, karena kucing itu memiliki pitak berbentuk bulan sabit di atas mata kanannya. Hasil berkelahi dengan kucing garong dahulu kala. Itu kucing di kuilnya. Yang telah mati dua tahun yang lalu. Di tempat lain, anak-anak lelaki jalan pertokoan juga menyadari keganjilan serupa. Choi Hansol terperangah ketika ia hampir saja menginjak seekor kura-kura yang rupanya piaraan- nya saat SD sebelum mati lima tahun kemudian. Mulutnya membentuk huruf ‘O’ besar untuk beberapa saat, sebelum dengan gembira, senyumnya merekah, lengkap dengan gusi dan geliginya yang putih sempurna. Hong Jisoo tidak sengaja menabrak punggung seseorang, meminta maaf secara refleks, namun kemudian membeku ketika orang itu berbalik. Bagaimana tidak, bila yang barusan ia tabrak adalah ayahnya yang telah dikubur ketika ia masih berusia enam tahun. Matanya menatap lembut Joshua seakan menyimpan rindu teramat dalam pada anak semata wayang yang ia tinggalkan terlalu dini itu. Joshua, terlalu terkejut, tidak menyadari bahwa air mata- nya telah menetes perlahan, dan mereka hanya berdiri berhadap-hadapan dalam diam. Sama halnya dengan Seungkwan, yang tengah menangis sesenggukan sambil memeluk erat sosok tua bertubuh pendek gempal dan berwajah amat ramah. Nenek kesayangannya yang harus ia relakan kepergiannya tiga tahun yang lalu kini berada dalam pelukannya. Masih seperti ketika Seungkwan mengenangnya. Tetapi, sungguh sayang, tidak semua menemukan wajah familier di hadapan mereka. Seok- min sedang menghitung jumlah peserta kelompoknya ketika hitungannya kelebihan 1 kepala.