“Ahahaha,” suara tawa tiba-tiba terdengar. Ketika Seungcheol menoleh, ada sesosok anak
lelaki berambut agak panjang berwarna pirang hampir putih. Yoon Jeonghan, anak toko spe-
sialis rempah dan bumbu masak, Ketua OSIS dan teman sebayanya, hanya terpaut beberapa
bulan saja darinya, sedang berjalan santai. Jujur, sampai sekarang, Seungcheol tidak tahu apa
penyebab temannya itu bisa dipilih sebagai Ketua OSIS selain fakta bahwa nilainya menem-
pati ranking paling tinggi seantero sekolah. Sebelah alis Jeonghan terangkat melihat keadaan
temannya saat ini: menggigit roti bakar, seragam asal timpa… sungguh stereotipikal protago-
nis shonen manga. Jadi ingin tertawa pakai hidung.
“Buru-buru banget?” ia menyapa dengan senyum mengejek. Sebelah tangan masuk ke saku
celana. Berbeda dengan Seungcheol yang sejatinya akan berpakaian cukup rapi apabila tidak
dalam keadaan terburu-buru, Jeonghan sudah biasa ditemukan memakai kaus bebas di atas
hamparan jaket luarnya. Ia tidak suka mengenakan kemeja seragam, kecuali di musim panas.
Tidak satu pun kancing ia kenakan, terlebih dasi. Jeonghan memang tidak pernah dikenal
sebagai anak lelaki yang rapi sejak dulu. Sepatunya pun ia injak bagian belakangnya begitu
saja.
“Kamu yang kelewat santai! Ini udah jam berapa, Hani?!” serta-merta, ditariknya pergelan-
gan tangan si anak, tetapi ia bergeming. Walau ramping dan tampak lemah, sesungguhnya
Jeonghan memiliki stamina dan keteguhan (baca: kemalasan) yang paling kuat di antara
mereka semua.
Ia berdecak. “Dih, ogah. Aku kan Ketua OSIS. Bebasss~” selorohnya.
“Sombong!” Seungcheol mendengus kesal. Ia memutar tumit sepatunya. “Ya udah, aku
duluan! Bye!” Berkata begitu, si anak bungsu Choi tancap gas menuju sekolah, tanpa sedikit
pun menyadari kedatangan teman mereka yang lain dari pertigaan jalan yang buru-buru
dilewatinya.
“Lho, Cheol?”
“Yo, Shua~”
“Hani?”
Hong Jisoo, alias Joshua, mendapati Jeonghan sedang melambaikan tangan sambil tersenyum
padanya ketika ia menoleh. Meski tidak setetes pun berdarah Amerika, namun kakek buyutn-
ya dahulu tinggal di sana sebelum pindah permanen ke kota ini, kemudian membuka kafe
yang kini operasionalnya dipegang oleh orangtuanya. Sebagai anak tunggal, Joshua sejak
kecil setia membantu usaha turun-temurun keluarganya itu, tanpa sadar mengembangkan
minat (dan bakat) pada profesi barista, dan akibatnya, kafe mereka cukup dikenal dengan
kopi lezatnya dan pelayan tampannya. Bahkan, kafe mereka pernah muncul di sebuah artikel
majalah yang cukup populer.
Rambut abu-abu lembut tersisir rapi. Jaketnya sempurna. Kemeja dikancing hingga yang