An Ode: Shadow - A Seventeen Anthology | Page 80

“Ahahaha,” suara tawa tiba-tiba terdengar. Ketika Seungcheol menoleh, ada sesosok anak lelaki berambut agak panjang berwarna pirang hampir putih. Yoon Jeonghan, anak toko spe- sialis rempah dan bumbu masak, Ketua OSIS dan teman sebayanya, hanya terpaut beberapa bulan saja darinya, sedang berjalan santai. Jujur, sampai sekarang, Seungcheol tidak tahu apa penyebab temannya itu bisa dipilih sebagai Ketua OSIS selain fakta bahwa nilainya menem- pati ranking paling tinggi seantero sekolah. Sebelah alis Jeonghan terangkat melihat keadaan temannya saat ini: menggigit roti bakar, seragam asal timpa… sungguh stereotipikal protago- nis shonen manga. Jadi ingin tertawa pakai hidung. “Buru-buru banget?” ia menyapa dengan senyum mengejek. Sebelah tangan masuk ke saku celana. Berbeda dengan Seungcheol yang sejatinya akan berpakaian cukup rapi apabila tidak dalam keadaan terburu-buru, Jeonghan sudah biasa ditemukan memakai kaus bebas di atas hamparan jaket luarnya. Ia tidak suka mengenakan kemeja seragam, kecuali di musim panas. Tidak satu pun kancing ia kenakan, terlebih dasi. Jeonghan memang tidak pernah dikenal sebagai anak lelaki yang rapi sejak dulu. Sepatunya pun ia injak bagian belakangnya begitu saja. “Kamu yang kelewat santai! Ini udah jam berapa, Hani?!” serta-merta, ditariknya pergelan- gan tangan si anak, tetapi ia bergeming. Walau ramping dan tampak lemah, sesungguhnya Jeonghan memiliki stamina dan keteguhan (baca: kemalasan) yang paling kuat di antara mereka semua. Ia berdecak. “Dih, ogah. Aku kan Ketua OSIS. Bebasss~” selorohnya. “Sombong!” Seungcheol mendengus kesal. Ia memutar tumit sepatunya. “Ya udah, aku duluan! Bye!” Berkata begitu, si anak bungsu Choi tancap gas menuju sekolah, tanpa sedikit pun menyadari kedatangan teman mereka yang lain dari pertigaan jalan yang buru-buru dilewatinya. “Lho, Cheol?” “Yo, Shua~” “Hani?” Hong Jisoo, alias Joshua, mendapati Jeonghan sedang melambaikan tangan sambil tersenyum padanya ketika ia menoleh. Meski tidak setetes pun berdarah Amerika, namun kakek buyutn- ya dahulu tinggal di sana sebelum pindah permanen ke kota ini, kemudian membuka kafe yang kini operasionalnya dipegang oleh orangtuanya. Sebagai anak tunggal, Joshua sejak kecil setia membantu usaha turun-temurun keluarganya itu, tanpa sadar mengembangkan minat (dan bakat) pada profesi barista, dan akibatnya, kafe mereka cukup dikenal dengan kopi lezatnya dan pelayan tampannya. Bahkan, kafe mereka pernah muncul di sebuah artikel majalah yang cukup populer. Rambut abu-abu lembut tersisir rapi. Jaketnya sempurna. Kemeja dikancing hingga yang