An Ode: Shadow - A Seventeen Anthology | Page 78

the wandering hearts Selamat datang di Jalan Pertokoan Sibchil. Jalan sepanjang 2,5 kilometer ini terletak di sebuah kota di mana penduduknya tidak terlalu padat dan matahari pagi masih rajin menyapa dari balik pegunungan. Tidak ada gedung-ge- dung tinggi pencakar langit maupun bisingnya kendaraan bak di ibukota, yang ada adalah rentangan sawah hijau sepanjang mata memandang, penduduk lalu-lalang menggunakan sepeda, anak-anak bermain layangan di lapangan, dan para anak muda berjalan bergerombol dalam tawa sepulang sekolah—yang, jelas, hanya ada satu di kota tersebut—bertandang ke kuil untuk mendoakan leluhur mereka yang dikubur di halaman belakangnya sebelum meng- habiskan waktu luang di jalan pertokoan ini. Sesuai namanya, jalan ini dipenuhi berbagai macam toko di sisi kiri dan kanannya. Gerbang utama yang menyambut pengunjung ditulis dalam huruf hangul besar dan dihias mentereng agar mencolok. Ada sebuah patung macan ditaruh di bagian tengah kepala gerbang, maskot kebanggaan para warga di jalan ini. Begitu masuk, tercium langsung wangi gorengan yang sedang dimasak, membuat air liur mereka terbit dan tak sanggup menahan barang seribu-dua ribu won untuk panganan lezat selama perjalanan menyusuri jalan ini. Menapak lebih dalam dan temukanlah berbagai keindahan dalam kehidupan sehari-hari. Ikan segar berdaging sekal dengan insang berwarna merah dijajakan dengan semangat oleh pasangan suami-istri, beserta anak tertua mereka di pinggir jalan utama pertokoan tersebut. Harum bunga semerbak tercium ketika pengunjung melewati sebuah gang untuk memotong jalan dan seorang anak lelaki pendek akan tersenyum manis pada mereka dengan buket bunga bakung putih di kedua lengannya. Toko kue, toko buku, kafe bergaya kebaratan, penjahit pribadi, toko penilai barang antik yang sudah amat tua, hingga beras dan sake, makan siang dan kimchi buatan sendiri; semua, semua yang diperlukan dan diinginkan, yang dikira takkan ada karena terlalu langka ataupun terlalu konyol, semua ada di jalan ini. Beraneka rupa, begitu pula halnya dengan warga yang tinggal di sini. Jalan pertokoan ini telah berdiri sejak beberapa generasi sebelumnya. Jika kuil dan kuburan- nya adalah bangunan tertua di kota itu, maka jalan pertokoan adalah yang kedua tertua. Sehingga, tak dapat dipungkiri, betapa antik bangunan-bangunannya dan betapa dekat hubu-