An Ode: Shadow - A Seventeen Anthology | Page 38

Maaf kepada dirinya sendiri, Wonwoo, karena kau harus meninggal dengan cara mengenas- kan. *** “Wow, jadi itu sungguhan?” Seungcheol terkekeh, mengambil segenggam kacang kemudian menyandarkan kepalanya ke sofa. “Ya. Sejak itu, desa itu menghilang. Begitu saja. Seingatku, pernah ada wartawan yang mewawancarai bekas penduduk sana. Kau tahu apa, besoknya malah wartawan itu yang hilang. Dari situ, tidak pernah ada lagi yang berani mencari tahu—atau bahkan sekadar bertanya—soal desa itu. Secara tidak langsung, desa itu menjadi hal tabu yang sangat dilarang untuk dibicarakan.” Jeonghan bergidik ngeri, tapi kernyitan di dahinya belum juga hilang—kebingungan, “Aku masih penasaran apa ritual itu.” Suara Seungcheol memelan ketika ia menceritakan ini. “Itu ritual tahunan di sana. Penduduk di desa itu akan mengorbankan seseorang supaya keinginan mereka semua bisa terkabul. Ketimbang mempercayai Tuhan, mereka lebih memilih untuk mengadakan ritual itu dan mengorbankan seorang laki-laki muda, dari umur 17 sampai 25 tahun.” “Sebentar,” di sebelahnya, Seokmin menyela, “Tapi, di cerita tadi, yang meninggal bukan hanya Mingyu, tapi juga Soonyoung dan Wonwoo.” Seungcheol mengangguk. “Tapi, syarat tumbal itu hanya seorang laki-laki penduduk asli sana. Walau Mingyu memang baru pindah, tapi secara teknis ia sudah resmi menjadi warga desa itu, bukan? Sedangkan, Soonyoung dan Wonwoo jelas pendatang—mereka hanya berlibur. Makanya, ritualnya menjadi gagal dan konsekuensinya, desanya menghilang dan anak-anak yang seharusnya diberkati malam itu mengalami gangguan jiwa. Bahkan, mayat yang ditemukan juga utuh. Tiga-tiganya. Tidak logis bukan, untuk seseorang yang meninggal karena terbakar? Ditambah lagi, kalau mereka memang tumbal, mayatnya seharusnya hilang, yang tersisa hanya kepalanya saja. Kepala itu juga harus disimpan oleh si keluarga yang mendapat giliran selanjutnya.” “Kau tahu dari mana cerita ini?” Jeonghan mengerutkan keningnya, “Katamu, yang tahu cerita ini kan, hanya penduduk sana.” Temannya itu tersenyum. “Karena aku ada di sana, dan akulah yang seharusnya menjadi tumbal selanjutnya.” *** Tapi terima kasih kepada ketiga orang itu, karena aku bisa selamat dan tetap hidup sampai sekarang.