young. Begitu lebar, sampai Wonwoo akhirnya menyadari bahwa mungkin, alasan Tuhan
tidak memberikannya ayah karena Ia tahu, sosok itu tidak akan sama hangatnya dengan
sosok Soonyoung.
Soonyoung, sahabatnya, baru saja mati. Berubah menjadi abu. Dan itu semua karena sepupu-
nya sendiri.
Sadar bahwa ia masih mencekik Mingyu, Wonwoo dengan cepat mengarahkan Mingyu ke
arah api unggun itu, dan mendorong sepupunya itu ke dalamnya, persis seperti apa yang
dilakukan Mingyu sebelumnya. Wonwoo bersumpah serapah, mengutuk laki-laki itu mati,
tepat saat Mingyu, dengan tawa terakhirnya, menarik lehernya dan membuat keduanya jatuh
ke dalam api.
Sakit.
Perih.
Kulitnya terbakar, sensasi panas menyerang diri Wonwoo, dari ujung kaki hingga kepala. Ia
berteriak, tapi kemudian dengan cepat merasakan panas itu menjalar masuk ke tenggorokann-
ya, membakar organ-organ dalamnya.
Bahkan dari dalam kobaran api, suara Mingyu masih terdengar di telinganya, dan rintihan
Soonyoung membayangi benaknya.Wonwoo menangis dalam lalapan api.
Jadi, beginilah ia mati.
Malam ini, Wonwoo tidak akan kembali ke rumah. Bukan karena ia bermain bersama Soon-
young, bukan juga karena ia sibuk belajar di perpustakaan—seperti yang biasa ia
lakukan—tapi karena ia telah mati. Di sini. Bersama sahabat dan sepupumya.
Ibu,
Maaf karena aku gagal menjadi anakmu.
Maaf karena aku tidak akan pulang malam ini.
Maaf juga karena lagi-lagi, kau harus kehilangan seseorang yang kau sayangi.
Dan,
Untuk satu-satunya sahabatnya yang paling ia kasihi, kagumi, dan juga disyukuri oleh
Wonwoo di setiap doanya.
Soonyoung,
Maaf karena aku menyeretmu terlalu dini ke gerbang kematian—dan nahasnya, dengan cara
tidak manusiawi.
Maaf juga karena aku membuat keluargamu kehilangan anak mereka.
Maaf karena aku belum bisa menjadi sahabat yang bisa menyelamatkanmu, di kehidupan ini.
Terakhir,